3 Aliran dalam Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan Islam sebagaimana pendapat al-Syaibani yang dikutip
oleh Ahmad Syar’i menjelaskan bahwa filsafat pendidikan Islam adalah
prinsip-prinsip dan berbagai kepercayaan yang berasal dari ajaran Islam
atau minimal sesuai dengan jiwa Islam yang mendukung dan memiliki kepentingan
pelaksanaan dan bimbingan dalam bidang pendidikan.
Dalam filsafat Islam juga akan mengkaji tiga pijakan yaitu ontologi,
epistemologi, dan aksiologi.
1. Ontologi
Filsafat pendidikan
Islam bertitik tolak pada manusia dan alam (the creature of God).
Sebagai pencipta, Tuhan telah mengatur alam ciptaan-Nya. Pendidikan berpijak
dari human sebagai dasar perkembangan dalam pendidikan. Seluruh
aktivitas hidup dan kehidupan manusia adalah transformasi pendidikan.[1]
Yang menjadi dasar kajian filsafat pendidikan Islam di sini adalah sebagaimana yang tercantum dalam wahyu mengenai pencipta, ciptaan-Nya, hubungan antara ciptaan dan pencipta, hubungan antara sesama ciptaan-Nya dan utusan yang menyampaikan risalah (rasul).
2. Epistemologi
Landasan ini merupakan
dasar ajaran Islam yaitu al-Quran dan al-Hadits. Dari kedua sumber itulah
muncul pemikiran-pemikiran terkait masalah-masalah keislaman dalam berbagai
aspeknya termasuk filsafat pendidikan. Apa yang tercantum dalam al-Quran dan
al-Hadits merupakan dasar dari filsafat pendidikan Islam.[2] Hal ini pada dasarnya
selaras dengan hasil pemikiran para filosof Barat, karena akal sehat tidak akan
bertentangan dengan wahyu. Jika terjadi ketidakcocokan berarti itu bukan karena
kesalahan wahyu itu, namun itu adalah hasil pikiran yang belum mampu menjangkau
apa yang dimaksudkan oleh landasan tersebut.
3. Aksiologi
Yang tidak kalah
pentingnya adalah kandungan nilainya dalam bidang pendidikan. Ada tiga hal yang
menjadi nilai dari filsafat pendidikan Islam yaitu:
a) Keyakinan
bahwa akhlak termasuk makna yang terpenting dalam hidup, akhlak di sini tidak
hanya sebatas hubungan antara manusia, namun lebih luas lagi sampai kepada
hubungan manusia dengan segala yang ada, bahkan antara hamba dan Tuhan.
b) Meyakini
bahwa akhlak adalah sikap atau kebiasaan yang terdapat dalam jiwa manusia yang
merupakan sumber perbuatan-perbuatan yang lahir secara mudah.
c) Keyakinan
bahwa akhlak islami yang berdasar syari’at yang ditunjukkan oleh berbagai teks
keagamaan serta diaktualkan oleh para ulama merupakan akhlak yang mulia.[3]
Bertolak dari tiga
kajian di atas, setidaknya kita telah memiliki pandangan dan arah yang akan dilakukan oleh
filsafat pendidikan Islam tersebut.
Aliran-aliran Filsafat Pendidikan Islam[4]
Terdapat tiga aliran utama dalam pemikiran filosofis pendidikan Islam[5], yaitu:
(1) Aliran Agamis-Konservatif, (2) Aliran Religius-Rasional, dan (3) Aliran
Pragmatis-Instrumental. Penjabaran tentang ketiga aliran tersebut dapat dilihat
berikut ini.
1. Aliran Konservatif (al Muha>fidz})
Aliran ini cenderung bersikap murni keagamaan yang mencakup ilmu-ilmu yang dibutuhkan saat sekarang dan akan membawa manfaat kelak di
Akhirat[6].
Para pelajar harus mengawali belajarnya dengan mengkaji Al Qur’an dan Ulumul
Qur’an, lalu dilanjutkan belajar hadi>th, Ulumul Hadi>th, Us}ul
Fiqh, Nah}wu, dan S}araf.
Para ulama yang termasuk dalam kategori aliran pemikiran pendidikan ini adalah Al-Ghazali, Zarnuji,
Nasiruddin Al-Thusi, Ibnu Jama’ah, Sahnun, Ibnu Al-Haitami, dan Abdul Hasan Ali
bin Muhammad bin Khalaf (al-Qabisi).
Al-Thusi – sebagaimana dikutip Muhammad
Jawwad Ridha-menganalogikan jeinis ilmu yang pertama dengan makanan pokok,
sedangkan jenis ilmu yang kedua dianalogikan dengan obat yang hanya dimakan
sewaktu terpaksa. Selain dua jenis ilmu tersebut, ada pula ilmu yang hukum
mempelajari termasuk fad}i>lah (keutamaan, anjuran), seperti
mempelajari tentang deatilnya ilmu hitung dan ilmu kedokteran. Terkait dengan
ini, maka ilmu dapat dipilah menjadi ilmu terpuji dan ilmu yang tercela.[7]
Al-Ghazali
membagi ilmu-ilmu adat dan ilmu-ilmu komplementer, termasuk di dalam filsafat,
menjadi empat bidang. Pertama, ilmu ukur dan ilmu hitung. Disiplin ilmu ini
boleh dipelajari dan dilarang apabila membahayakan bagi yang mempelajarinya
karena dapat mengantarkan pada ilmu tercela. Kedua, ilmu mantiq
(logika), yaitu ilmu yang berkaitan dengan dalil (argumentasi) dan
syarat-syaratnya. Ketiga, ilmu ketuhanan (teologi), yaitu ilmu yang berisi
tentang kajian eksistensi Tuhan. Keempat, ilmu kealaman. Sebagian ilmu ini
dianggap bertentangan dengan syara’, agama, dan kebenaran.[8]
Sebagian lainnya mengkaji tentang anatomi tubuh, rincian organ-organ,
perubahannya.
2. Aliran Religius-Rasional (al-Di>niy al-Aqlany)
Menurut Ridha, aliran ini tidak jauh berbeda dengan aliran pemikiran tradisionalis-tekstualis (Naqliyyun). Aliran
pemikiran pendidikan ini mengakui bahwa semua ilmu
dan sastra yang tidak mengantarkan pemiliknya menuju kehidupan akhirat, dan
tidak memberikan makna sebagai bekal di sana, maka ilmu demikian hanya akan menjadi bumerang bagi si pemilik kelak di akhirat.
Ikhwan al-Shafa adalah salah satu penganut aliran ini. Batasan ilmu menurut Ikhwan al-Shafa adalah gambaran
tentang sesuatu yang diketahui pada benak (jiwa) orang yang mengetahui. Lawan
dari ilmu adalah kebodohan, yaitu tiadanya gambaran yang diketahui pada
jiwanya. Belajar dan mengajar tiada lain adalah mengaktualisasikan hal-hal potensial, melahirkan hal-hal yang terpendam dalam jiwa.[9]
Selain Ikhwan al Shafa, yang
termasuk aliran ini antara lain al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawih.
Pergumulan intensif kelompok Ikhwan al-Shafa dengan pemikiran filsafat Yunani
telah memberikan landasan bagi aliran pendidikannya, yaitu bahwa pangkal segala
sesuatu yang terkait dengan jiwa beserta semua potensinya, serupa dengan apa
yang diutarakan oleh kecenderungan Gnostik.[10]
3. Aliran Pragmatis (al-Dharai’iy)
Tokoh utama
aliran ini adalah Ibnu Khladun.[11]
Pemikiran Ibnu Khaldun lebih banya bersifat pragmatis dan lebih berorientasi
pada dataran aplikatif-praktis.
Aliran ini
merupakan wacana baru dalam pemikiran pendidikan Islam. Apabila kalangan
konservatif mempersempit ruang lingkupsekuler di hadapan rasionalitas Islam dan
mengaitkannya secara kaku dengan pemikiran atau warisan salaf, sedangkan
kalangan Rasionalis dalam sistem pendidikan (program kurikuler) berpikiran
idealistik sehingga memasukkan semua disiplin keilmuan yang dianggap substantif
bernilai, maka Ibnu Khaldun mengakomodir ragam jenis keilmuan yang nyata
terkait dengan kebutuhan langsung manusia, baik berupa kebutuhan
spiritual-ruhaniah maupun kebutuhan material-jasmaniah.
[1] Ahmad
Syar’i, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2005), 123
[2] Ibid,. 124.
[3] Op.cit,. 125.
[4] Prof. Dr. H. Abd. Haris, M.Ag. dan Kivah Aha Putra, S.PdI, Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), 120-131.
[5] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 74.
[6] Ibid,. 75.
[7] Op.cit,. 76.
[8] Ilmu tentang kealaman yang oleh al-Ghazali dianggap bertentangan dengan
ajaran agama adalah teori asal-usul alam semesta yang menganggap bahwa alam
semesta merupakan sesuatu yang qadi>m. Keberadaan alam semesta bukan
diciptakan dari nol (tidak ada menjadi ada), tetapi dari sesuatu yang sudah ada
(creatio lex divina). Teori ini sebagaiman yang dikemukakan oleh al
Farabi, Ibnu Sina. Teori ini ditentang oleh al-Ghazali, karena dia meyakini
bahwa alam semesta merupakan sesuatu yang baru, artinya diciptakan oleh allah
dari tidak ada menjadi ada (creation ex nihilo). Lihat al-Ghazali di Ihya’
Ulumuddin.
[9] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 78.
[10] Menurut Philip K. Hitti, Gnostik adalah kepercayaan aliran
pengetahuan di Yunani dimana seseorang penuntut ilmu bisa mencapai pengetahuan
dengan adanya kilasan cahaya batin. Philip Hitti, Tarikh al Arab, (Beirut:
Tp., 1961); Ibid., 79.
[11] Muhammad Jawwad Ridha, Tiga Aliran Utama Teori Pendidikan Islam
(Perspektif Sosiologis-filosofis), 104.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.