4. Refleksi Perkembangan Pemikiran dan Dakwah Kultur KH. A. Dahlan kepada IMM
Pada hakikatnya IMM adalah sebuah
gerakan Mahasiswa bersimbol ortom Muhammadiyah, dengan symbol tersebut dapat
kita lihat pergerakan IMM seharusnya memiliki embrio yang sama dengan
pergerakan Muhammadiyah. Sebagaimana kita ketahui dari sejarah Muhammadiyah,
KH. Ahmad Dahlan sudah memberikan sebuah manifestasi surat al-ma’un
sebagai
landasan bahwa kita sebagai umat islam harus paham akan lingkungan social
sekitar untuk itu sebagai ortom Muhammadiyah IMM mengembangkan potensi
intelektual, religuitas, dan humanitas[1].
Diera globalisasi yang semakin
berkembang, pergerakan mahasiswa semakin rendah akan nilai perjuangan. Mereka
kebanyakan hanya terfokus sebagai “kupu-kupu” dan intelektual mereka
hanya dalam ranah kognitif. Hal ini menjadikan sebuah degradasi intelektual dan
kepedulian mahasiswa semakin rapuh. Padahal hakekat seorang mahasiswa perlu
adanya sebuah intelektual dengan upaya membaca – menulis – berdiskusi, serta
sebagai agen of change yang mana mahasiswa merupakan sebagai salah satu
aspirasi rakyat ke pemerintahan.
Untuk itu gerakan mahasiswa diera
globalisasi perlu adanya sebuah proses transformasi melalui karakter[2]
dan moral sebagai mahasiswa yang peduli akan keadaan lingkungan sekitar,
rakyat, bangsa dan Negara. Dalam hal ini kita sebagai kader IMM setidaknya memiliki
kesadaran kritis yang terpadu dengan kesadaran profetik dan memiliki daya
intelektul social profetik sebagai hasil manifestasi surat Ali Imran: 110.
dalam hal ini dapat dijabarkan gerakan
mahasiswa yang progresif melaui etika profetik paradigma Kuntowijoyo menjadi 3
pokok gerakan.
Pertama,
mahasiswa sebagai gerakan humanisasi. Dalam bahasa agama, konsep humanisasi
sudah lama kita kenal dengan sebutan hablun min al-nas. Paradigma
tersebut, Kuntowijoyo dalam pemikirannya telah mengkorelasikan dengan sebuah
penggalan ayat 110 surat ali Imran amar ma’ruf. Mengenai penafsirannya,
asal makna kata tersebut adalah sebuah anjuran untuk menegakkan kebajikan, hal
ini direkontruksi dalam menifesto untuk menegakkan dimensi dan potensi positif
manusia kepada petunjuk ilahi (nur) dalam rangka mencapai keadaan fitrah.
Humanisasi sebelumnya dalam kanca
paradigma barat telah muncul diera renaissance dengan tujuan utama untuk
memulihkan martabat manusia. Lahirnya humanisme barat akibat pemberontakan
terhadap kekuasaan Gereja yang bersifat dogmatis pada abad pertengahan. Pada
waktu itu dunia barat sedang terkukung oleh paham keagamaan yang seolah-olah
membelenggu manusia sehingga manusia tidak memiliki daya untuk mencapai
kesadaran diri, kemerdekaan, kebebasan, dan kedaulatan atas diri dan alam.
Untuk menjauhkan dari dogma-dogma kaum gereja, manusia mulai sadar akan dirinya
sebagai antroposentris sehingga muncul ilmu pengetahuan dan peradaban
modern sebagai manifesto pembebasan atas keterpurukan pada abad pertengahan.
Akan tetapi damapak adanya sebuah antroposentris, mengakibatkan manusia
mengalami degradasi moral dan keterasingan dari dirinya sendiri dan lupa pada
hakikatnya. Diera ini justru muncul adanya sebuah perbudakan kembali melalui
system kapitalis.
Melihat kenyataan seperti ini,
Kuntowijoyo mengusulkan humanisasi teosentris sebagai ganti dari humanisasi
antroposentris untuk mengangkat kembali martabat manusia. Berangkat dari
konsep iman dan amal soleh dipandang dapat menghindarkan terjadinya dehumanisasi.
Iman adalah konsep teosentris dengan tuhan sebagai pusat pengabdian, sementara
amal adalah konsep humanisasi dengan dimaksudkan sebagai aksi kemanusiaan yang
mana kedua ini saling berkaitan atau berhubungan yang tidak dapat dipisahkan.
Berdasarkan pandangan diatas, maka humanisasi
teosentris adalah sebuah ajaran iman dan amal yang dimanifestasikan secara
trasendensi dan tidak secara rasional sebagaimana dalam nilai-nilai antroposentris.
Hal ini diperlukan karena masyarakat sedang berada dalam tiga keadaan akut,
yaitu dehumanisasi karena aksi manusia tergantikan dengan alat teknologi,
agresifitas kolektif karena ketidakadilan social yang menyebabkan kekumuhan,
kemiskinan, dan pengangguran pada kaum mutadhafin, dan loneliness
terjadi karena individuasi oleh kelas menengah keatas.
Kedua,
mahasiswa
sebagai gerakan liberasi. konsep dimanifestasikan dari kata nahi munkar
yang berarti melarang atau mencegah segala tindak kejahatan yang merusak. Kata
tersebut dapat dikorelasikan kedalam bahasa ilmu sebagai bentuk pembebasan –
mencegah – dari kebodohan, kemiskinan,
ataupun penindasan.
Sebetulnya kata tersebut berasal dari
unsur kata teologi pembebasan yang lahir dari tradisi pemikiran Katolik di
Amerika Latin pada tahun 1960-an sebagai kekuatan moral dan social untuk
melakukan praksisi liberatif dan emansipatoris. Adapun liberasi yang dimaksud
Kuntowijoyodalam ilmu social profetik adalah konteks ilmu yang didasari
nilia-nilai luhur trasendental yang memiliki tanggung jawab profetik untuk
membebaskan manusia dari kekejaman, kemiskinan, pemerasan kelimpahan, dominasi
struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Fenomena kemiskinan yang lahir dari
ketimpangan ekonomi adalah bagian penting dari proyek liberasi. Selanjutnya
Kuntowijoyo menjabarkan empat sasaran liberasi yaitu: system pengetahuan,
system social, system ekonomi, dan system politik yang membelenggu manusia
sehingga tidak dapat mengaktualisasikan dirinya sebagai makhluk yang merdeka
dan mulia. Sasaran liberasi dari system pengetahuan adalah berupa usaha – usaha
untuk membebaskan orang dari belenggu system pengetahuan yang materealistik
dari dominasi structural. Selanjutnya liberasi dari system social membebaskan
keterpurukan dalam industrial kembali pada agraris dengan melihat nilai-nilai
pada sebuah obyek penelitian, komunitas. Adapun system ekonomi dilakukan untuk
memperbaiki kesenjangan dan kemiskinan dengan nilai-nilai keadilan. Sedangkan
liberasi system politik tertuju pada pembebasan dari otoriterianisme,
kediktatoran dan neofeodalisme.
Ketiga,
mahasiswa memiliki sikap trasendental. Unsur yang ketiga merupakan unsur
terpenting dan dasar dari unsur lain yang tidak dapat dipisahkan. Dalam bahasa
agama, trasendental dapat diartikan hablu min Allah. Unsur ini merupakan
manifestasi dari kata tu’minuna bi Allah yaitu sebuah bentuk ketahuidan.
Trasendensi memberikan arah dan tujuan dalam unsur humanisasi dan liberasi.
Sebagai contoh, liberasi dalam konteks kemiskinan dapat dilakukan dengan cara
menghancurkan para penguasa dari system kapitalis menuju system ekonomi yang
berkeadilan.
Dalam memaknai trasendensi lebih dalam
lagi Roger menjabarkan dengan tiga perspektif: pertama, mengakui
ketergantungan manusia kepada penciptanya – mengatasi naluri-naluri manusia
seperti keserakahan dan nafsu berkuasa –, kedua, mengakui kontinuitas
dan ukuran bersama antara tuhan dan manusia. Ketiga, mengakui keunggulan
norma-norma mutlak yang melampaui akal manusia. Dengan demikian trasendensi
merupakan perwujudan tidak hanya pada hubungan kerohanian antara manusia dan
tuhannya, melainkan juga keterkaitan dengan hubungan social.
[1]
Komisariat Al-Farabi IMM UINSA, Mengenal Prinsip Gerakan IMM, (Surabaya,
2014) diadobsi dari buku kelahiran yang dipersoalkan oleh Farid Fathoni.
[2]
karakter berarti kualitas mental atau moral, nama atau reputasinya. Menurut
Tadkirotun Musfiroh karakter mengacu kepada serangkaian sikap (Attitude), Perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan ketrampilan (skillls). Makna karakter sendiri sebenarnya
berasal dari Yunani yang berarti to mark
(menandai) dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam
bentuk tindakan tingkah laku - Tadkirotun Musfiroh, “ Pengembangan Karakter
Anak Melalui Pendidikan Karakter” dalam Tinjauan Berbgagai Aspek Character
Building: Bagaimana Mendidik Anak Berkarakter? ( Yogyakarta: Tiara Wacana,
2008), h.28
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.