Biografi 9 Tokoh Walisongo Yang Menyebarkan Islam di Indonesia
1. Sunan Gresik (Syekh Maulana
Malik Ibrahim)
Syekh
Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara
yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M.
Jauh sebelum beliau datang, islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan
dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.[1]
Dikalangan
rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal
terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih
tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah
sama sederajat hanya orang yang beriman dan bertaqwa tinggi kedudukannya disisi
Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan islam, tempat mendidik
dan menggenbleng para santri sebagai calon mubaligh.
Di
Gresik, beliau juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat gresik
semakin meningkat. Beliau memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk
mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo
yang dianggap sebagai ayah dari walisongo. Beliau wafat di gresik pada tahun
882 H atau 1419 M.[2]
2. Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Raden
Rahmat adalah putra Syekh Maulana Malik Ibrahim dari istrinya
bernama Dewi Candrawulan. Beliau memulai aktivitasnya dengan mendirikan
pesantren di Ampel Denta, dekat dengan Surabaya. Di antara pemuda yang dididik
itu tercatat antara lain Raden Paku (Sunan Giri), Raden Fatah (Sultan pertama
Kesultanan Islam Bintoro, Demak), Raden Makdum Ibrahim (putra Sunan Ampel
sendiri dan dikenal sebagai Sunan Bonang), Syarifuddin (Sunan Drajat), dan
Maulana Ishak.
Menurut Babad
Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana
Manjapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra
Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat
sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden
Fatah sebagai sultan pertama Demak. Disamping itu, Sunan Ampel juga ikut
mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.
Pada
awal islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut
keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti
kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem
sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang
lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan
karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel
menghargainya. Hal tersebut terlihat dari persetujuannya ketika
Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan
agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam. Beliau wafat pada tahun
1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.[3]
3. Sunan Bonang (Raden Makdum
Ibrahim)
Nama
aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Beliau Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang
terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.Beliau dianggap sebagai pencipta
gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa
Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa
Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya
berdatangan dari berbagai daerah.
Sunan
Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan
diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang
serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai
media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu
gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah
SWT. dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain
(ucapan dua kalimat syahadat); gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan
istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan
lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana
tegang, bengis, dan penuh amarah. Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun
1525 M.[4]
4. Sunan Giri (Raden Paku)
Sunan
Giri merupakan putra dari Maulana Ishak dan ibunya bernama Dewi Sekardadu putra
Menak Samboja. Kebesaran Sunan Giri terlihat antara lain sebagai anggota dewan
Walisongo. Nama Sunana Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian
kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut
merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam
penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer.[5]
Sunan
Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang
dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Beliau pernah
bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah.
Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang dibawahi dari negeri Pasai
melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya
sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri.
Tidak berselang lama hanya daam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenaldi
seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik
di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang
tau bersama muridnya. Beliau juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil
yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.[6]
5. Sunan Drajat (Raden Qasim)
Sunan Drajat adalah anak bungsu Sunan Ampel dengan Dewi
Condrowati atau yang sering disebut sebagai Nyi Ageng Manila. Beliau lahir
pada tahun 1450. Nama lain dari Sunan Drajat yang terkenal adalah Raden
Qasim. Di desa Jelak, Raden Qasim mendirikan surau dan pesantren.Banyak orang
yang datang untuk berguru agama Islam kepadanya sehingga Jelak semakin ramai
dan berkembang menjadi kampung besar. Oleh karena itu nama Jelak kemudian
dirubah menjadi Banjaranyar. Beliau memperkenalkan Islam melalui konsep
dakwah bil-hikam, dengan cara-cara bijak dan tanpa
memaksa. Dalam penyampaiannya beliau menempuh lima cara. Pertama lewat
pengajian secara langsung dimasjid atau di langgar.Kedua melalui pendidikan di
pesantren.Ketiga memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan masalah. Keempat
melalui kesenian tradisional dan yang kelima menyampaikan ajaran agama melalui
ritual adat tradisional sepanjang tidak bertentangan dengan agama islam.
Sunan
Drajat juga berdakwah dengan menggunakan kesenian Jawa yang pada waktu itu
sudah mendarah daging dikalangan masyarakat.Salah satu tembang ciptaan beliau
adalah tembang Mijil. Sunan Drajat juga terkenal
dengan ajaran yang mengatakan paring teken marang kang kalunyon lan
wuto, paring pangan marang kang kaliren, paring sandhang marang kang
kudanan (memberi tongkat kepada orang buta, memberi makan kepada
orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada yang tidak punya pakaian dan
memberi payung kepada orang yang kehujanan). Ini memang inti ajaran sosial di
dalam Islam yang akan tetap relevan sampai kapanpun.
Pada
masa akhir Majapahit terjadi krisis sosial, ekonomi, politik.Sunan Drajat
menjadi juru bicara yang membela rakyat tertindas.Beliau mengecam tindakan elit
politik yang waktu itu hanya mengejar kekuasaan demi kenikmatan pribadi. Dalam
bidang sastra budaya beliau menciptakan:
1) Berpartisipasi dalam
pembangunan masjid Demak
2) Membantu Raden Patah
3) Tembang Pangkur.[7]
6. Sunan Kalijaga (Raden Sahid)
Nama
aslinya adalah Raden Sahid, beliau putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika
Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada
agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang
terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten
dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu
tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.
Setelah
diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan
Bonang. Lalau Raden Sahid diangkat menjadi murid, lalu disuruh menunggui
tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya
berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.
Sunan
kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan
wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian
dilakukan oleh para penyebar Islam seperti Walisongo untuk menarik perhatian di
kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada
ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan
media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia
itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat
syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana,
tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.[8]
7. Sunan Kudus (Ja’far Sadiq)
Sunan
Kudus menyiarkan agama Islam di daerah Kudus dan sekitarnya. Beliau memiliki
keahlian khusus dalam bidang agama, terutama dalam ilmu fikih, tauhid, hadits,
tafsir serta logika. Karena itulah di antara walisongo hanya ia yang mendapat
julukan wali al-‘ilm (wali yang luas ilmunya), dank arena
keluasan ilmunya ia didatangi oleh banyak penuntut ilmu dari berbagai daerah di
Nusantara.
Ada
cerita yang mengatakan bahwa Sunan Kudus pernah belajar di Baitul Maqdis,
Palestina, dan pernah berjasa memberantas penyakit yang menelan banyak korban
di Palestina. Atas jasanya itu, oleh pemerintah Palestiana ia diberi ijazah
wilayah (daerah kekuasaan) di Palestina, namun Sunan Kudus mengharapkan hadiah
tersebut dipindahkan ke Pulau Jawa, dan oleh Amir (penguasa setempat)
permintaan itu dikabulkan. Sekembalinya ke Jawa ia mendirikan masjid di daerah
Loran tahun 1549, masjid itu diberi nama Masjid Al-Aqsa atau Al-Manar (Masjid
Menara Kudus) dan daerah sekitanya diganti dengan nama Kudus, diambil dari nama
sebuah kota di Palestina, al-Quds. Dalam melaksanakan dakwah dengan pendekatan
kultural, Sunan Kudus menciptakan berbagai cerita keagamaan. Yang paling
terkenal adalah Gending Makumambang dan Mijil.[9]
Cara-cara berdakwah Sunan Kudus adalah sebagai
berikut:
a. Strategi pendekatan
kepada masa dengan jalan
1. Membiarkan adat istiadat lama
yang sulit diubah
2. Menghindarkan konfrontasi
secara langsung dalam menyiarkan agama islam
3. Tut Wuri Handayani
4. Bagian adat istiadat yang tidak
sesuai dengan mudah diubah langsung diubah.
b. Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan
menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan
keramat.
c. Merangkul masyarakat
Budha
Setelah
masjid, terus Sunan Kudus mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang
berjumlah delapan, diatas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang diatasnya
hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “ Jalan berlipat delapan atau asta
sunghika marga”.
d. Selamatan Mitoni
Biasanya
sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.
Sunan Kudus wafat pada tahun 1550 M dan
dimakamkan di Kudus. Di pintu makan Kanjeng Sunan Kudus terukir kalimat asmaul
husna yang berangka tahun 1296 H atau 1878 M.[10]
8. Sunan
Muria (Raden Umar Said)
Sunan Muria adalah putera pertama Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh
binti Maulana Ishak. Nama asli beliau adalah Raden Umar Said, sedang nama
kecilnya adalah Raden Prawoto. Dalam berdakwah, Sunan Muria meniru cara yang
telah dilakukan dengan sukses oleh ayahandanya, yaitu menggunakan alat musik
Jawa (gamelan). Sasaran yang digarap oleh Sunan Muria adalah masyarakat yang
bertempat tinggal di pedesaan, jauh dari pusat pemerintahan maupun kota. Oleh
karena itu, Sunan Muria membangun pesantren di lereng gunung Muria, dan karena
itulah gelar Sunan Muria diberikan oleh masyarakat.[11]
Beliau
adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar
Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat
menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Muria dalam menyebarkan agama Islam.
Sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Beliau
adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang
sebagai alat dakwah dan beliau pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan
kinanthi. Beliau banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti
nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.
Lewat
tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk
mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada
rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan suna
Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwak tapa ngeli yaitu
menghanyutkan diri dalam masyarakat.[12]
9. Sunan
Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Nama aslinya adalah Syarif Hidayatullah, beliau lahir di Makkah.
Banyak versi yang menceritakan tentang keberadaan Sunan Gunungjati ini, tetapi
cerita yang termasyhur adalah menikahnya Sunan Gunungjati dengan seorang puteri
Cina bernama Ong Tien, yang kemudian namanya diganti dengan Nyai Ratu Rara
Semanding.
Sunan
Gunung Jati memang mempunyai hubungan baik dengan kaisar Cina. Dalam rangka
menjalin hubungan baik tersebut, pada tahun 1479 beliau berkunjung ke Cina dan
bertemu dengan kaisar Hong Gie, serta berkenalan dengan sekretaris kerajaan
bernama Ma Huan, Jendral Ceng Ho, dan Fei Hsin. Ketiga tokoh itu telah memeluk
agama Islam.Disini Sunan Gunungjati membuka praktek pengobatan,dan banyak
masyarakat Cina yang berobat kepadanya.Kesempatan ini digunakan sebaik-baiknya
oleh beliau untuk berdakwah.
Setelah
selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ketanah Jawa untuk
mengamalkan ilmunya. Disana beliau bersama ibunya
disambut gembira oleh pangeran Cakra Buana.
Syarifah Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung
Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk
Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif
Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra
Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada
tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah islam dilakukannya
melalui diplomasi dengan kerajaan lain.
Setelah
Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah Kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha mempengaruhi kerajaan yang
belum menganut agama Islam. Dari Cirebon, ia mengembangkan agama Islam ke
daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh),
Sunda Kelapa, dan Banten.
Sunan
Gunungjati membangun masjid pada tahun 1480 yang diberi nama Masjid Agung Sang
Ciptarasa. Pembangunan masjid ini mendapat bantuan penuh dari Sultan Demak dan
Walisongo. Bahkan juga diceritakan bahwa Sunan Kalijogo ikut menyumbangkan
sebuah tiang tatal. Masjid ini juga sering dijadikan pusat pertemuan Walisongo
untuk membicarakan masalah-masalah yang dihadapi pada saat itu.[13]
[1]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Manusia),(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h.
125.
[2]Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam
Peradaban Umat Manusi) , (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2003), h. 194.
[4]Fatah syukur, Sejarah Peradaban Islam, (Semarang : PT. Pustaka
Rizki Putra, 2010), h. 196.
[5]Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar
Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004), h. 65.
[8]Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Amzah,
2010), h. 308.
[9]Tatang
Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX
Semester 1 dan 2, (Bandung,: CV ARMICO, 2009)h. 33.
[10]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 130.
[11] Sumanto Al
Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta: Inspeal Ahimsakarya
Press, 2003), h. 258.
[12]Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi Pengislaman di Tanah
Jawa, (Yogyakarta: GRAHA Pustaka, 2009), h. 137-138.
[13]Sumanto Al
Qurtuby, Arus Cina-Islam-Jawa, (Yogyakarta:
Inspeal Ahimsakarya Press, 2003), h. 252.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.