Fungsi dan Tujuan Pidana dalam Islam
Hukum pidana merupakan ilmu pengetahuan tentang hukum, oelh karena itu peninjauan bahan-bahan
mengenai segi pertanggungjawaban manusia tentang perbuatan yang dapat dihukum
tidak bisa terlepas dari teori-teori tentang hukuman atau sanksi.[1]
Fungsi
hukum pidana adalah sama dengan fungsi hukum pada umumnya, antara lain:[2]
a. Mengatur
kehidupan masyarakat atau
b. Menyelenggarakan
tata tertib dalam masyarakat
Hukum
hanya memperhatikan perbuatan-perbuatan yang ada sangkut pautnya dengan
masyarakat. Di samping mengatur hidup kemasyarakatan, hukum pidana juga
mengatur masyarakat secara patuh dan bermanfaat seperti dalam lapangan hukum
lainnya. Hal tersebut sesuai dengan anggapan bahwa hukum dapat digunakan
sebagai sarana untuk menuju ke policy (kebijakan). Dalam bidang lainnya.
Hukum harus dapat menciptakan suasana masyarakat yang “tata tentrem
kertaraharja”.
Kepentingan
– kepentingan hukum yang dilindungi oleh hukum pidana adalah:
a.
Jiwa (Leven)
b.
Badan (Lyv)
c.
Kehormatan (Eer)
d.
Kemerdekaan (Vriheid)
e.
Harta benda (Vermugen)[3]
Hukum
yang ditegakkan dalam syari’at Islam mempunyai dua aspek, yaitu preventif
(pendidikan) dan refrensif (pencegahan). Dengan diterapkan kedua aspek tersebut
akan dihasilkan satu aspek kemaslahatan (positif), yaitu terbentuknya moral
yang baik, maka akan menjadikan masyarakat menjadi aman, tentram damai dan
penuh dengan keadilan, karena moral yang dilandasi akan membawa perilaku
manusia dengan tuntunan agama.
Fungsi
hukum Islam hampir sama dengan fungsi hukum lainnya yaitu meliputi perlindungan
dari seorang dan dari badan atau kolektif, misalnya masyarakat atau Negara.
Perlindungan hukum islam ini dikenal dengan konsep Maqoshid as-Syari’ah meliputi:
a. Perlindungan
agama (Hifdzu ad-Din)
b. Perlindungan
jiwa (Hifdzun an-Nafs)
c. Perlindungan
akal (Hifdzu al-‘Aql)
d. Perlindungan
keturunan (Hifdzu al-Nasb)
e. Perlindungan
harta (Hifdzu al-Mal)
Adapun
prinsip dasar untuk mencapai tujuan pemindanaan oleh ulama fiqih harus memenuhi
beberapa kriteria:
a. Hukuman
itu bersifat universal,[4]
yaitu dapat menghentikan orang dari melakukan suatu tindak kejahatan, bisa
menyadarkan dan mendidik bagi pelaku jarimah.
b. Penerapan
materi hukuman itu sejalan dengan kebutuhan dan kemaslahatan masyarakat (maslahat)
c. Seluruh
bentuk hukuman yang dapat menjamin dan mencapai kemaslahatan pribadi dan
masyarakat adalah hukuman yang disyari’atkan, karena harus dijalankan.
d. Hukuman
dalam Islam bukan hal balas dendam, tetapi untuk melakukan perbaikan terhadap
pelaku tindak pidana (jarimah)[5]
Menurut
Adi Hamzah dan A. Simanglipu, sepanjang perjalanan sejarah, tujuan penjatuhan
pidana dapat dihimpun dalam empat bagian, yakni:
a. Pembalasan
(revenge), seseorang yang telah membuat kerusakan dan malapetaka kepada
orang lain, menurut alasan ini wajib menderita seperti yang ditimpahkan kepada
orang lain.[6]
b. Penghapusan
dosa (ekspiaton), konsep ini berasal dari pemikiran yang bersifat
religious yang bersumber dari Allah.
c. Menjerakan
(detern)
d. Memperbaiki
sipelaku tindak kejahatan (rehabilitation of the criminal), pidana ini
diterapkan sebagai usaha untuk mengubah sikap dan perilaku agar tidak
mengulangi kejahatannya.[7]
Abdul
Qadi Awdah, seorang ahli hukum pidana Islam, mengatakan bahwa prinsip hukuman
dalam Islam dapat disimpulkan dalam dua prinsip pokok:
a. Memutuskan
segala perbuatan pidana dengan mengabaikan pribadi terpidana dan memperbaiki
sikap terpidana sekaligus memberantas segala bentuk tindak pidana.
b. Memberantas
segala bentuk tindak pidana bertujuan untuk memelihara stabilitas masyarakat,
sedangkan untuk pribadi terpidana bertujuan untuk memperbaiki sikap dan
prilakunya.
Oleh sebab itu,
menurut Abd al-Qadir Awdah, hukuman bagi segala bentuk tindak pidana yang
terjadi harus sesuai dengan kemaslahatan dan ketentraman masyarakat yang
menghendaki.
Dalam hukum pidana Islam secara implisit
ada tekanan tujuan pemidanaan seperti yang diungkapkan dalam al-Quran berikut
ini:
وَٱلسَّارِقُ
وَٱلسَّارِقَةُ فَٱقۡطَعُوٓاْ أَيۡدِيَهُمَا جَزَآءَۢ بِمَا كَسَبَا نَكَٰلٗا
مِّنَ ٱللَّهِۗ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٞ ٣٨ [8]
Artinya: Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang
mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka
kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana
Ayat diatas menggambarkan adanya balasan
terhadap sebuah kejahatan dan membalas hukuman harus diumumkan atau dilakukan
dimuka umum. Sehingga tujuan – tujuan pemidanaan terwujud. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan tujuan pemidanaan adalah:
a.
Pemidanaan
dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum
harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas. Jangka panjang dari aspek
ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas (social defence).[9]
b.
Pemidanaan
dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif (general prevention), yang
berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang untuk tidak melakukan
kejahatan serupa.
c.
Pemidanaan
dimaksudkan sebagai special prevention (pencegahan khusus), artinya
seseorang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan
bertaubat dan tidak mengulangi kejahatannya, dalam aspek ini terkandung nilai treatment.[10]
[1] C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Indonesia, cet ke-V, (Jakarta: Balai Pustaka, 1983),
hal.34
[4] Keuniversalan hukum ini pernah
dipraktekan oleh para sahabat seperti Ali menguji pada Abu Suraih sebagai hakim
pada saat itu. Ali berperkara dengan seorang yahudi (non muslim), oleh hakim
Suraih diputus dengan dimenangkan oleh yahudi. Kejadian ini dalam suatu riwayat
hanya menguji sejauh mana keadilan hukum yang dipegang pada waktu itu. Hasbi
ash-Shieddiqie, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1975), hal.38
[5] A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam…., hal.1872
[6] Hukum Islam ketika berbicara
tenttang delik qisas, terkesan mengerikan, seram dan menakutkan. Apakah
setiap pembunuh pasti dibunuh sebagaimana ia membunuh? Jawabannya ya, jika
Islam dipahami secara tekstual. Ini berarti sama saja hukum islam sema dengan
hukum primitive. David De Santalina, Law and Society, (London: Oxford
University Press, 1952), hal.303
[7] Andi Hamzah dan A. Simaglipu, Pidana
Mati di Indonesia di Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Yang Akan Datang, cet.
II, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.15
[8] Al-Maidah (5): 38
[9] Makhruus Munajat, “Penegakan
Supremasi Hukum di Indonesia dalam Perspsektif Islam”, dalam Asy-Syir’ah,
(Yogyakarta: Fakultas Syari’ah IAIN Yogyakarta), hal.66
[10] Dalam beberapa kasus semisal
tindak pidana recidivist (pengulangan tindak pidana), dan tindak pidana qazaf
(tuduhan melakukan tindak pidana zina) yang tertuang dalam surat an-Nuur
ayat 4 dan 23. Bagi penyusun sudah tidak layak menjadi pemimpin atau pejabat
Negara dengan alasan:
Pertama, Eks pelaku tindak pidana recidivist
jika dilihat dari fungsi al-‘uqbah atau hukuman sudah tidak layak menjadi pejabat
Negara, dengan asumsi bahwa fungsi pemidanaan preventif (pendidikan) sudah
tidak berfungsi. Kedua, bagi pelaku qazaf dalam hukum tindak
pidana Islam dikenai pertanggungjawaban antara lain:
1.
Hukuman jilid sebanyak 80 kali
2.
Dianggap sebagai orang fasik
3.
Dan kesaksiannya tidak akan diterima lagi kapanpun
mengajukan persaksian.
A. Djazuli, “Fiqih Jinayah,
Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam”, (Jakrata: Raja Grafindo, 1997),
hal.66
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.