Skip to main content

Hakikat Alam dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

Hakikat Alam dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam

www.azid45.web.id - Hakikat Alam dalam Pandangan Filsafat Pendidikan Islam. Menurut KBBI, alam adalah segala yang ada dilangit dan dibumi.[1] Kata alam berasal dari bahasa Arab ‘a-l-m, satu akar kata dengan ‘ilm (pengetahuan) dan ‘ala>mat (pertanda). Disebut demikian karena jagad raya ini adalah pertanda adanya sang Maha Pencipta, yaitu Tuhan yang Maha Esa. Dalam bahasa Yunani alam jagad raya ini disebut cosmos yang berarti serasi atau harmonis.[2]

Semua realitas yang empiris yang ada ini selain Tuhan adalah alam (Kosmos). Alam semesta adalah media pendidikan sekaligus sebagai sarana yang digunakan oleh menusia untuk melangsungkan proses pendidikan. Didalam alam semesta ini manusia tidak dapat hidup dan mandiri dengan sesungguhnya. Karena antara manusia dan alam semesta saling membutuhkan dan saling melengkapi.

Islam memandang bahwa alam adalah ciptaan Allah swt, sekaligus merupakan bukti karya agung-Nya, sebagai konsekuensinya alam adalah pesan dan tanda-tanda Allah akan keberadaan-Nya. Alam merupakan wahyu yang tidak tertulis. Jadi setiap manusia harus membaca wahyu Allah yang baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.[3]

Allah menegaskan bahwa Dia tidak menciptakan langit, bumi dan apa yang ada diantara keduanya secara main-main, kecuali dengan al-haqq.[4] Disamping sebagai sarana untuk menghantarkan manusia akan keberadaan dan keMaha-Kuasaan Allah. Fungsi konkret alam semesta adalah fungsi rubu>biyah yang diciptakan Allah kepada manusia, sehingga alam ini akan marah manakala manusia bertindak serakah dan tidak bertanggung jawab.[5]

Para pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori, yaitu:[6]

Pertama, Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan wahyu. Ilahi yang tertera dalam Al-Quran dan Hadis serta segala yang dapat diambil dari keduanya. Hanya diberikan kepada manusia.[7]

Kedua, Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang kualitatif dan penggandaan, selama tidak bertentangan dengan Syariah sebagai sumber nilai.

Semua ilmu pengetahuan kealaman berkembang secara induktif dan intiz}a>r, maka dengan semakin dewasanya sains natural itu sendiri dan matematika, ia dapat berkembang secara deduktif. Dengan matematika dapat dirumuskan model-model alam atau gejala alamiyah yang sifat dan kelakuannya dapat dijabarkan secara matematis. Namun dari sekian banyak model yang dapat direkayasa, hanya mereka yang konsekuensinya sesuai dengan gejala alamiyah yang teramatilah yang dapat diterima oleh masyarakat ilmuan yang bersangkutan. Tidaklah ayat-ayat al-Qur’an satu pun yang menentang ilmu pengetahuan, tetapi sebaliknya banyak ayat-ayat al-Qur’an mengusung dan menekankan kepentingan ilmu pengetahuan.

Hasil penelitian tentang gejala alam lebih bersifat eksak dan diuji validitasnya oleh para peneliti lainnya sehinggan kebenarannya mendekati kata sempurna. Filsafat pendidikan menjadikan seluruh hasil penelitian sebagai langkah awal menuju pemahaman mendalam mengenai kedudukan alam bagi umat manusia sekarang dan akan datang. Manusia wajib belajar pada alam dan mempelajari gejala alam agar ilmu pengetahuan dan kecerdasan umat manusia terus meningkat.[8]

Dalam pandangan Filsafat Pendidikan Islam, alam semesta atau universe yang terbagi dalam dua kategori (alam materi dan alam ruh), harus dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh sebab itu pendidikan Islam harus memperhatikan kedua hal ini secara seimbang, karena kehidupan manusia yang sempurna tidak akan terwujud hanya dengan memperhatikan salah satunya.

Daftar Pustaka
Ali, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Logos, 1999.
Badaruddin, Kemas. Filsafat Pendidikan Islam (Analisis pemikiran Prof. Dr. Syed Muhammad al-Naquib al-Attas). Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2009.
Basri, Hasan. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV Pustaka setia, 2009.
Hermawan, Heris. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Dirjen Pendidikan Islam Kemenag RI, 2012.
Jalaludin. Teologi Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001.
Kementrian Agama R.I. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: Yamunu, 1996.
Kosim, Muhammad. Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Khaldun “Kristis, Humanis dan Religius”. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2012.
Madjid, Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban. Jakarta: Paramadina, 1992.
Salahudin, Anas. Filsafat Pendidikan. Bandung: CV Pustaka Setia, 2011.
Syam, Mohammad Noor. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filasafat Pendidikan Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional, 1986.
Tim penyusun silabus. ‘Ushul al-tarbiyyah wa al-ta’li>m, Vol: 1. Ponorogo: Darussalam Press, 2007.

[1] kbbi.web.id/alam.
[2] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992), 289.
[3] Abdurrahman Mas’ud. Menggagas Format Pendidikan Non Dikotomik (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 45.
[4] Lihat al-Dukha>n: 38-39. Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan bermain-main. Kami tidak menciptakan keduanya melainkan dengan haq, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.
[5] Hasan Basri, Filsafat … , 21-25.
[6] Dalam konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan, dikehendaki, dirasakan dan diyakini, membawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar menyusunnya ke dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang mengelompokkan ilmu itu kepada tiga bagian, pertama: Sciences (ilmu-ilmu kealaman, murni, biologi, fisika, kimia dam lainnya, kedua: Social Sciences (ilmu-ilmu kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam interaksinya dalam masyarakat, ketiga: The Humanities (humaniora) merupakan ilmu-ilmu kemanusiaan yang menyangkut kesadaran akan perasaan kepribadian dan nilai-nilai yang menyertainya sebagai manusia.
[7] Lihat al-Baqarah: 30, dan al-Ahza>b: 72. Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.
[8] Anas Salahudin, Filsafat ..., 105.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
Comment Policy: Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini. Komentar yang berisi tautan tidak akan ditampilkan sebelum disetujui
Buka Komentar
Tutup Komentar
Close Disqus
Close Translate