Kriteria Kepemimpinan dalam Islam
Islam
menjamin hak politk setiap manusia untuk mengurusi dan mengatur kehidupan muka
bumi. Kewajiban tersebut termanifesikan juga dalam tugas untuk mengankat
pemimpin atau khalifah. Kewajiban mengangkat pemimpin dalam satu
kelompok adalah sebuah keharusan dikarenakan begitu pentingnya sosok pemimpin.
Namun
tidak semua manusia harus menjadi pemimpin dalma satu kelompoknya. Seseorang
untuk menjadi pemipin haruslah memiliki
kualifikasi atau kriteria yang harus ada dalam kepemimpinannya agar kelompok
yang dipimpinnya mampu diurus guna menciptakan kemaslahatan kelompoknya.
Menurut
al-Mawardi ada beberapa syarat atau
kriteria seseorang bisa menjadi khalifah. Kriteria – kriteria (syarat –
syarat) yang legal yang harus dimiliki ada tujuh yaitu:[1]
a.
Adil dengan syarat – syaratnya yang universal
b.
Ilmu yang membantunya mampu berijtihad terhadap kasus –
kasus dan hukum.
c.
Sehat inderawi (telinga, mata, dan mulut) yang dengannya
ia mampu menangani langsung permasalahan yang telah diketahuinya.
d.
Sehat oragan tubuh dari cacat yang menghalanginya
bertindak dengan sempurna dan cepat.
e.
Wawasan yang membuatnya mampu memimpin rakyat dan
mengelola semua kepentingan.
f.
Berani dan ksatria yang mampu membuatnya melindungi wilayah Negara dan melawan musuh.
g.
Nasab yang berasal dari Quraisy[2]
berdasarkan nāsh – nāsh yang ada dan ijmā’ para ulama. Pendapat tersebut tidak
perlu menggubris dhirār yang berpendapat nyeleneh dan membolehkan
jabatan imam (khalifah) dipegang
orang – orang non Quraisy karena Abu Bakar ra meminta orang – orang Anshar yang
telah membaiat Sa`ad Ubadah untuk mundur dari jabatan khalifah (imāmah) pada
peristiwa Saqīfah karena beragumen dari sabda Nabi Muhammad saw:
أخبرنا أبو علي الحسين بن محمد الرونباري أنبأ عيل بن محمد الصلار حدثنا عباس
بن محمد الدوري حدثنا الفيض بن الفضل البجلي حدثنا مسعر عن سلمة بن كهيل عن أبى
صادق عم ربيعة بن ناجذ عن علي رضي الله عنه ان النبي صلى الله عليه واله وسلم قل
الأنمة من قريش[3]
Ibnu Katsir
berpendapat mengenai syarat seseorang untuk menjadi khalifah (imām) yaitu:[4]
2)
Merdeka
3)
Dewasa (balīgh)
4)
Berakal
5)
Muslim
6)
Adil
7)
Mujtahid
8)
Waspada
9)
Sehat jasmani dan rohani
10) Berpengalaman dalam
pertempuran
11) Memiliki pendapatan
atau penghasilan
Al Ghazali
menetapkan ada sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk menjadi
kepala Negara, khalifah, sultan atau raja.[6]
1)
Dewasa (balīgh)
2)
Otak yang sehat
3)
Merdeka dan bukan budak
4)
Laki – laki
5)
Keturunan Quraisy
6)
Pendengaran dan penglihatan yang sehat
7)
Kekuasaan yang nyata[7]
8)
Hidayah[8]
9)
Ilmu pengetahuan[9]
10)
Wara’ (kehidupan yang bersih dan kemampuan mengendalikan
diri tidak berbuat hal yang tercela dan terlarang)
Ridwan mewajibkan
bahwa persyaratan dasar untuk menjadi pemimpin (kholifah) haruslah
seorang muslim, merdeka, berpengetahuan.[10]
Sedangkan Sayid sabiq mengatakan bahwa pemimpin (kholifah) hendaknya
orang yang dapat dipercaya, mampu mengatur Negara, mampu menjaga agama, mampu
menguasai serta mengikuti perkembangan politik dunia.[11]
Hasby Ash-Shiddiqie
menyatakan bahwa para ulama sepakat berpendapat bahwa ada syarat-syarat
seseorang diangkat sebagai pemimpin Negara. Syarat – syarat tersebut meliputi:[12]
1.
Pemimpin Negara harus memiliki pengalaman atau mempunyai
daya ijtihad.
2.
Memiliki kecakapan dalam bidang ilmu pengetahuan
khususnya masalah politk, peperangan dan pemerintahan.
3.
Mempunyai sifat adil yang dipandang sama dengan taqwa dan
mempunyai sifat wara’
4.
Kifayah Jismiyah , sehat panca indra
5.
Kifayah Nafsiyyah yaitu mempunyai keberanian, rasa tanggung jawab dan
memiliki kemauan yang kuat untuk mempertahankan Negara dan memerangi musuh.
6.
Pemimpin Negara haruslah seoarang dari wilayah yang
sempurna. Syarat ini mengandung syarat lain yaitu hendaklah ia seorang muslim,
merdeka, laki-laki, dewasa, dan berakal.
7.
Keturunan Quraisy.
Dalam konteks
keindonesiaan pada tahun 2003 menjelang pemilihan presiden secara langsung
kriteria untuk menjadi presiden meliputi:[13]
1.
Integritas, yaitu memiliki kekuatan moral dan intelektual
( amanah dan fatanah), yaitu perpaduan aantra Fikr
(rasional) dan zikr atau perpaduan emosional dan moral.
2.
Kapabilitas
3.
Mempunyai fondasi iman dan takwa yang kuat
4.
Tujuan kerakyatan
5.
Memiliki misi yang strategis
6.
Berjiwa kenegaraan dan mampu mempersiapkan generasi
kepemimpinan bangsa
7.
Memiliki jaringan
8.
Memiliki jiwa reformasi
Konsep politik
Melayu yang tertuang dalam kitab Taj as-Salatin yang memberikan
sumbangan penting bagi pembentukan tradisi Melayu dengan memberi rincian
tentang syarat-syarat raja. Persyaratan-persyaratan begitu lengkap, mencakup
persyaratan yang bersifat jasmaniyah dan rohaniyah. Antara lain
dikemukakan bahwa raja harus memiliki kriteria sebagai berikut:[14]
1. Laki
– laki
2. Tampan
3. Gagah
4. Berani
5. Berpengetahuan
luas
6. Pemurah
7. Mempunyai
sifat – sifat baik dan terpuji
Penguasa yang dalim terhadap rakyatnya
akan mendapat azab dari Allah SWT. Dalam konteks ini, kitab – kitab jawi juga
berbicara tentang kewajiban raja kepada rakyatnya. Hubungan raja dan rakyatnya
bahkan dinyatakan sebagai hubungan simbiotik, hubungan timbal balik yang sailng
berpengaruh. Raja harus berbuat baik kepada rakyatnya jika ingin kekuasaannya
berlangsung baik dan langgeng. Sultan Mashur Syah dari Malaka, misalnya ketika
memberi nasihat kepada putranya Raja Amad berkata:
“Dan tiada sentosa kerajaannya; karena
kerajaan – kerajaan itu umpama api, segala materi itu umpama kayu; karena api
tiada nyala, jikalau tiada kayu; seperti kata Farsi, ar’ayatun juan bakhasta
sultan khasad (sic), yakni rakyat itu umpama akar dan raja itu umpama
pohon; jikalau tiada akar niscaya pohon tiada akan dapat berdiri. Demikianlah
raja itu dengan segala rakyat. Hai anakku, hendaklah kau turut seperti amanatku
ini; supaya engkau beroleh berkat diberi Allah Subhanahu Wa Ta’ala”.[15]
Sang raja dengan demikian harus
menghormati dan menepati “perjanjian setia”-nya dengan rakyat. Seperti pesan
yang tertuang dalam pesan Sulalat al-Sulatin dalam kitab Taj
al-Salatin.
“… jikalau raja Melayu itu mengubahkan
perjanjian dengan hamba Melayu, dibinasakan Allah negerinya tahkta kerajaan…
jikalau ada seseorang raja – raja Melayu itu memberi aib seseorang hamba
Melayu, alamat negerinya akan binasa”.[16]
Salah satu kualitas ruhanian yang sangat
ditekankan Taj al-Salatin untuk dimiliki raja adalah sifat adil. Bahkan
sifat adil ini dinyatakan sebagai syarat yang utama yang harus dimiliki raja,
karena raja itu adalah “lambang” keadilan. Dikatakan lebih jauh, dimata Allah,
keadilan seseorang raja selama satu hari saja sama dengan menunaikan ibadah
haji sebanyak 60 kali. Sebaliknya raja yang tidak adil akan dikutuk Tuhan.
Kriteria – kriteria khalifah
dalam pandangan fiqhu as-siyasah klasik dan modern diatas menurut
penyusun hampir semua tidak sama meskipun hanya pada beberapa kriteria ada
kesamaan. Hal tersebut diakibatkan oleh pandangan – pandangan yang didasari
pada kebutuhan bangsa dan negara terhadap kriteria pemimpin yang harus
dimiliki. Perubahan syarat dalam kepemimpinan mengidikasikan bahwa kebutuhan
akan kriteria pemimpin mengikuti perkembangan serta kebutuhan waktu, tempat,
kondisi, dan kultur budaya masyarakat.
[1]Imam al-Mawardi, al-Ahkām
as-Sultaniyyah: Prinsip – Prinsip Penyelenggaraan Negara dalam Syari’at Islam,
alih bahasa Fadhli Bahri, cet. Ke-I; (Jakarta: Darul Falah, 2000), hal.3.
Syarat adil, berlilmu, sehat fisik, kreatif dan berani – jelas berarti syarat
tersebut kembali ke sifat asli dan mampu memimpin umat Islam untuk menaati
undang – undang dan menangkal gangguan dari luar. Dan syarat tersebut bertujuan
supaya pemimpin dengan kewajibannya mampu menjaga politik dunia. Syarat
tersebut sudah disepakati ulma. Abdul Wahhab Kallaf, Politk Hukum Islam,
alih bahasa Zainuddin Adnan, cet. Ke-II, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005),
hal.62
[2] Pendapat ini mendapat respon berbeda – beda dari
para ulama. Letak perbedaannya pada tidak ada nāsh yang pasti, karena banyak
dalil yang menentang adanya syarat nasab. Selain itu suatu syarat harus
mempunyai tujuan. Nasab Quraisy bisa dijadika syarat maka bukan merupakan
tujuan. Sedangkan untuk menjaga agama dan politik dunia dapat dilakukan oleh
orang yang mampu dari keturunan manapun. Hal serupa juga dilontarkan Abdul Wahhab Khallaf, ia
mengatakan sesungguhnya pemimpin tinggi dalam pemerintahan Islam tidak
dibenarkan hanya dari golongan Quraisy dan orang – orang non Quraisy, karena
tidak ada dalil di dalam Al-Qur’an maupun al-Hadits sahih yang menegaskan bahwa
urusan umat Islam setelah Rasulullah SAW dipegang oleh golongan tertentu atau
individu. Abdul Wahhab Khalaf, Politik Hukum Islam, hal.26
[3] HR. Muslim, Mukhtashar Sahīh Muslim, alih
bahasa Achmad Zaidun, cet. Ke-II, (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hal.704
[4] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir,
alih bahasa Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, cet. Ke-IV, (Surabaya: PT.
Bina Ilmu, 2004), hal.91
[5] Hampir semua leterasi siyasah
Islam klasik memberi syarat seorang pemimpin harus seorang laki – laki. Hal ini
berangkat dari dasar konsep hadits Nabi yang berbunyi الرجال
قومون على النساء. Tetapi
menurut penyusun hal ini juga mengandung argument yang didasari atas
rasionalitas bangsa Arab terhadap kedudukan wanita, dimana pemaknaan wanita
memiliki keterbatasan atas dalam hal fisik dan emosi. Namun, kaalu beranjak dari
tafsiran terhadap hadits الرجال قومون على النساء mengandung makna kontekstual, yaitu konteks قومون hanya berada
dalam tatanan rumah tangga.
[6] Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, cet. Ke-V, (Jakarta: UI Press, 1993), hal. 78
[7] Arti kekuasaan yang nyata adalah tersedianya bagi
raja pengangkat yang memadai termasuk angkatan bersenjata dan kepolisian yang
tangguh, yang dapat digunakan untuk memaksakan keputusan – keputusannya
terhadap mereka yang hendak menentangnya, menindas pembangkang dan membasmi
pemberontak.
[8] Yang diartikan dengan hidayah
adalah daya piker dan daya rancang yang kuat dan ditunjang dengan kesediaan
bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain.
[9] Tentang berilmu pengetahuan yang
harus dimiliki oleh kepala Negara tidak seberat yang diisyaratkan oleh
kebanyakan para ulama yang lain. Menurut uluma itu jabatan kepala Negara tidak
dapat disandang oleh seseorang yang ilmunya belum sedemikian tinggi sehingga
mampu berijtihad dan memberikan fatwa dalam bidang syariat. Menurut al-Ghazali,
syarat tersebut tidak terdapat dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Yang terdapat
dalam nāsh hanyalah sabda Nabi saw “sesungguhnya pemimpin-pemimpin umatku itu
harus dari suku Quraisy”. Munawir Sadjali, Islam dan Tata Negara: Ajaran,
Sejarah dan Pemikiran, hal.78
[10] Ridwan, paradigma Politik NU: Realisasi Suni NU dalam Pemikiran
Politik, cet. Ke-I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal.133
[11] Syaid Sabiq, Unsur –
Unsur Dinamika Politik dalam Islam, alih bahasa Haryono S. Yusuf, (Jakarta:
Pustaka Pelajar, 2004), hal.188
[12] Hasby Ash-Shiddiqie, Ilmu
Kenegaraan dalam Fiqih Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1969), hal.46.
menurut penyusun hampir sebagian besar ulama menerima pandangan tersebut secara
taken for granted. Buktinya, para professor di Universitas al-Azhar
dalam mata kuliah al-Nudzum al-Islamiyah (sistem pemerintahan islam)
mengapdosi pendapat al-Mawardi secara utuh sebagai blue print persyaratan
kepemimpinan dalam islam. Dari saking pentingnya, mata kuliah tersebut
diajarkan setiap tahun hampir di seluruh jurusan, termasuk jurusan
akidah-filsafat.
[13] Tanpa nama, Kriteria Presiden 2004, (Suara
Muhammadiyah, No.12, Th. Ke-88 November 2003), hal.10
[14] Azyumardi Azra, “Islam Negara
dan Civil Society, Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer”, cet.I
(Jakarta: Paramadina, 2005), hal.39.
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.