Perbandingan antara Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Karakter
Arus globalisasi memang sangat kuat terasa
di setiap sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu fakta sosial yang tidak dapat dipungkiri dalam
masyarakat modern dan post modern yang ditopang oleh kecanggihan teknologi
informasi dan komunikasi adalah munculnya kehidupan multikultural. Indonesia
adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat
dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan
luas. Keragaman ini akan dapat menimbulkan berbagai persoalan, seperti korupsi,
kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme,
dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan
bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
Paradigma pendidikan
multikultural sangat relevan diterapkan di negara-negara yang multietnis dan multibudaya,
seperti Indonesia. Keragaman budaya jika dikelola dengan baik akan mampu
membentuk karakter kebangsaindonesiaan yang kokoh. Karena itu, pendidikan
multikultural sangat memiliki kontribusi dalam menyukseskan kebijakan
pendidikan berbasis karakter. Tujuan pendidikan karakter adalah terwujudnya
nilai-nilai perilaku atau karakter warga belajar yang meliputi pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik
terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun
kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Sehubungan
dengan hal itu, pada
makalah ini penulis akan membahas tentang
pendidikan multikultural dan pendidikan berkarakter yang sangat dibutuhkan dalam
menghadapi tantangan arus globalisasi.
A.
Pendidikan
Multikultural
1.
Pengertian Pendidikan
Multikultural
Secara bahasa,
pendidikan multikultural berasal dari dua kata,
yaitu “pendidikan” dan “multikultural”. Pendidikan adalah proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang di usaha
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, cara, perbuatan
mendidik[1].
Sedangkan multikultural sebenarnya merupakan kata dasar yang mendapat awalan.
Kata dasar itu adalah kultur yang berarti kebudayaan, kesopanan, atau
pemeliharaan. Sedang awalannya adalah
multi yang berarti banyak, ragam, atau aneka[2]. Multikultural dapat diartikan pula sebagai
keragaman kebudayaan, atau aneka kesopanan.
Sedangkan
secara istilah, pendidikan multikultural berarti proses pengembangan seluruh
potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai
konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).[3]
Secara
sederhana, Prof. DR. Azyumardi Azra, MA. mendefinisikan pendidikan
multikultural sebagai pendidikan untuk atau tentang keragaman kebudayaan dalam
merespon perubahan demografi dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau
bahkan dunia secara keseluruhan.[4]
Berbeda dengan
definisi tersebut, Sleeter (1991) mengartikan pendidikan multikultural sebagai“Any set of proces by which schools work
with rather than against oppressed group”.[5]
Banks (1993)
dalam bukunya “Multicultural Education : Historical development,
dimension, and practice” menyatakan bahwa pendidikan multikultural
sebagai pendidikan untuk people of color.[6]
Franz Magnis
Suseno(2000) mendefinisikan pendidikan multikultural adalah pendidikan yang
mengandaikan kita untuk membuka visi tentang cakrawala yang luas, dan mampu
melintasi batas kelompok etnis atau tradisi budaya dan agama kita. Sehingga,
kita mampu melihat kemanusiaan sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan
dan kesamaan cita-cita. Inilah pendidikan
akan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan, dan
solidaritas.[7]
Dari beberapa
pengertian tersebut, saya menyimpulkan bahwa pendidikan multikultural merupakan
medium pengenalan atas keberagaman kebudayaan, sehingga dengannya dapat
menumbuhkan sikap saling menghargai, saling
pengertian, dan keterbukaan serta semua sikap
dan nilai penting bagi harmoni sosial dan perdamaian.
2.
Apa
dan Bagaimana Pendidikan Multikultural
Pendidikan multikultural muncul dari suatu ideologi yang disebut sirkularisme.
Ideologi sirkularisme menghendaki pendidikan yang dapat memanusiakan
manusia sesuai dengan nilai kemanusiaannya, menghewankan kebinatangan hewan,
mengalamkan kealaman alam, dan menTuhankan Tuhan.[8]
Sebenarnya,
gagasan dan konsep pendidikan multikultural bukan merupakan gagasan yang baru.
Gagasan ini berawal dari adanya kesadaran tentang inter-kulturalisme seusai
Perang Dunia kedua. Kesadaran tersebut muncul karena meningkatnya pluralitas di
negara-negara barat akibat peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka
ke Amerika dan Eropa. Maka lahirlah konsep pendidikan inter-kultural dan
inter-kelompok (inter-cultural and
inter-group education) di Amerika pada dasawarsa 1940-an dan 1950-an. Namun
dalam perkembangannya pendidikan interkultural ini dianggap kurang berhasil
dalam mengatasi konflik antar golongan dan masyarakat, karena pada praktiknya
pendidikan ini lebih terpusat pada individu dari pada masyarakat. Sementara itu
konflik dalam skala luas terjadi bukan pada tingkat individu, melainkan pada
level masyarakat yang akhirnya dapat mengganggu hubungan bersama diantara
masyarakat, negara-bangsa.
Akar pendidikan
multikultural, berasal dari perhatian seorang pakar pendidikan Amerika Serikat,
Prudence Crandall (1803-1890) yang
secara intensif menyebarkan pandangan tentang arti penting latar belakang
peserta didik, baik ditinjau dari aspek budaya, etnis, dan agamanya. Pendidikan
yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik
merupakan cikal bakal bagi munculnya pendidikan multikultural.[9]
Lantas, apa dan
bagaimana pendidikan multikultural itu?
Secara umum,
pendidikan multikultural adalah konsep dan praktis pendidikan yang mencoba
untuk memberikan pemahaman mengenai keanekaragaman ras, etnis, dan budaya dalam
suatu masyarakat. Tujuannya adalah agar manusia dapat hidup berdampingan secara
damai antar komunitas yang berbeda ras, etnis, budaya, maupun agama.
Dalam buku Multicultural Education and the Internet karya Paul C.
Gorski, saya mengutip bahwa "the underlying goal of multikultural
education is to effect social change. The pathway toward this goal incorporates
three strands of transformation:[10]
1. The transformation of self,
2. The transformation of schools and schooling
3. The transformation of society
Program-program prioritas dalam pendidikan
multikultural dapat diarahkan kepada
tiga prinsip pokok[11],
yaitu:
1. Pendidikan
multikultural didasarkan kepada pedagogik baru yaitu pedagogik yang berdasarkan
kesetaraan manusia (equity pedagogy).
2. Pendidikan
multikultural ditujukan kepada terwujudnya manusia indonesia cerdas.
3. Prinsip globalisasi.
Menurut Bennett H.A.R. Tilaar (2003:171)
orientasi nilai-nilai inti (core value) pada pendidikan multikultural
antara lain[12]:
a. Apresiasi terhadap adanya kenyataan pluralitas budaya dalam
masyarakat,
b. Pengakuan terhadap harkat, martabat, dan hak asasi manusia,
c. Pengembangan tanggung jawab masyarakat dunia,
d. Pengembangan tanggung jawab manusia terhadap planet bumi.
Core value pendidikan multikultural
mengingatkan pada sirkularisme pendidikan multikultural yang mencakup empat
dimensi; dimensi manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, manusia dengan
alam semesta, dan manusia dengan dirinya sendiri.
Masalah-masalah yang muncul dari
pendidikan multikultural ada dua hal, yaitu; pertama, pendidikan
multikultural merupakan suatu proses, artinya konsep pendidikan multikultural
yang baru kita mulai dalam dunia pendidikan di Indonesia memerlukan proses
perumusan, refleksi, dan tindakan di lapangan sesuai dengan perkembangan
konsep-konsep yang fundamental mengenai pendidikan dan hak asasi manusia.
Kedua, pendidikan multikultural merupakan suatu yang multifaset, oleh sebab
itu meminta suatu pendekatan lintas disiplin ilmu, maupun dari para pakar dan
praktisi pendidikan untuk semakin lama semakin memperhalus dan mempertajam konsep
pendidikan multikultural yang dibutuhkan oleh masyarakat[13]
B.
Pendidikan Berkarakter
1. Pengertian Pendidikan Berkarakter
Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
ayat (1), pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat bangsa dan negara.
Berpegang
pada pengertian tersebut, dapat dirumuskan pengertian pendidikan karakter
adalah usaha sadar dan terencana untuk
membentuk kepribadian yang khas peserta didik yaitu kepribadian baik yang
bercirikan kejujuran, tangguh, cerdas, kepedulian, bertanggung jawab, kerja
keras, pantang putus asa, tanggap, percaya diri, suka menolong, mampu bersaing,
professional, ikhlas bergotong royong, cinta tanah air, amanah, disiplin,
toleransi, taat, dan lain-lain yang merupakan akhlak mulia.
Dirjendikti,
Djoko Santoso memaknai pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai, pendidikan
budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan
kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan, baik memelihara apa yang
baik, mewujudkan dan menebarkan kebaikan kedalam kehidupan sehari-hari dengan
sepenuh hati [14].
Sedangkan
Alfie Kohn mengemukakan bahwa istilah character education[15]
memiliki dua pengertian. Dalam arti luas Kohn berpendapat bahwa “Character
education refers to almost anything that schools might try to provide outside
of academics, especially when the purpose is to help children grow into good
people”. Sedangkan dalam arti sempit “it denotes a particular style of
moral training, one that reflects particular values as well as particular
assumptions about the nature of children and how they learn.”
2.
Urgensi Pendidikan
Berkarakter
Sejarah
membuktikan bahwa bangsa Indonesia memiliki karakter yang kuat. Karakter yang
kuat dan unggul itu diwariskan oleh pendiri-pendiri seperti Bung Karno, Bung Hatta, Bapak
Pendidikan Ki Hajar Dewantoro, Budi Utomo, K.H. Ahmad Dahlan, dll. Namun
karakter kuat dan uunggul dari pendiri bangsa ini tampaknya terabaikan,
terlunturkan karena arus globalisasi yang kuat.
Justru dalam
arus globalisasi yang kuat ini karakter bangsa harus kuat, bila tidak bangsa
ini akan terbawa arus yang kuat itu. Kondisi ini dinyatakan oleh Presiden
Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono bahwa: “Character Building sudah
mulai kita lupakan”.[16]
Dalam
catatan sejarah nasional telah diabadikan bahwa menjelang akhir pemerintahan
Orde Lama (ORLA) pembangunan karakter
diluluhlantahkan oleh “Kekuatan Politik”. Memasuki Orde Baru (ORBA) upaya membangun karakter
anak bangsa melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), namun
lenyap begitu saja karena tidak adanya perilaku “Keteladanan” dari kepemimpinan nasional seperti yang
didoktrinkan dalam P4 tersebut. Terhambatnya pembangunan karakter bangsa (national
character building) disebabkan oleh penekanan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, diutamakan kepada pembangunan ekonomi, fisik,
material, sementara pembangunan karakter/budi pekerti kejiwaan diabaikan.[17]
Dalam
menghadapi kondisi seperti itu, Thomas Lickona berpendapat[18]:
In the face of a deteriorating social fabric, what
must character education do to develop good character in the young?
First, it must have an adequate theory of what good
character is, one which gives schools a clear idea of their goals. Character
must be broadly conceived to encompass the cognitive, affective, and behavioral
aspects of morality. Good character consist of knowing the good, desiring the
good, and doing the good. Schools must help children understand the core
values, adopt or commit to them, and act upon them in their own lives.
3.
Domain
Pendidikan untuk Membangun Karakter
Domain pendidikan
merupakan bagian penting dari kepribadian yang berhubungan dengan kecerdasan.
Domain pendidikan dalam proses pendidikan karakter ada tiga[19],
yaitu:
a. Domain
kognitif, yaitu domain yang berkaitan dengan peningkatan pemahaman dan
pengetahuan terhadap disiplin ilmu, pengertian istilah-istilah dari ilmu yang
dipelajari, bisa juga memahami dan mengetahui teori, hukum, dan dalil ilmu.
Domain ini dihasilkan melalui proses pendidikan (proses pembelajaran).
b. Domain afektif, yaitu domain yang menekankan
pada perubahan sikap, nilai-nilai yang baik, yang etis, yang mulia, yang sopan,
yang sntun, yang berakhlak mulia dari peserta didik. Domain inilah yang erat
kaitannya dengan pendidikan karakter.
c. Domain
psikomotor (domain keterampilan) yang dapat menghasilkan karya yang bermanfaat
bagi dirinya, keluarga, dan masyarakat. Domain ini tampak pada karakter kerja
keras, tangguh, tanggap, kemampuan bersaing,
dan professional.
Pengembangan
domain/ranah/kemampuan ini bersumber dari kecerdasan dasar yang dibekali oleh
Allah SWT. Sejak diciptakan Allah SWT. Dalam rahim ibu yang dibawa ke dunia
sejak lahir.
Menurut C.A.
Ariyanti[20],
kecerdasan tersebut adalah:
a. Kecerdasan
Intelektual (Intellectual Quotient)
Kecerdasan ini dibangun melalui
proses pendidikan, oleh karena itu kecerdasan ini selalu diukur dari tinggi
rendahnya tingkat pendidikan seseorang. Namun, membangun kecerdasan intelektual
saja tidaklah menjamin individu diterima di tengah-tengah masyarakat. Karena
tanpa diimbangi dengan pembangunan mental spiritual, manusia akan cenderung
menjadi zhalim (sombong, angkuh, egois, dan sejenisnya).
b. Kecerdasan
Emosional (Emotional Quotient)
Kecerdasan ini adalah kecerdasan
yyang melengkapi kecerdasan intelektual (IQ). Kecerdasan Emosiona (EQ) adalah
kecerdasan qalbu (hati) seperti kreatif, inisiatif, induktif, optimis, tangguh,
dan bertanggung jawab.
c. Kecerdasan Spiritual (Spiritual Quotient)
Kecerdasan ini (SQ) juga merupakan
kecerdasan hati yang berhubungan dengan penempatan perilaku atau jalan hidup
seseorang dinilai lebih baik dibandingkan dengan yang lain. Kecerdasan ini
adalah “Kecerdasan Semangat” yang
mendorong kecerdasan-kecerdasan lainnya supaya lebih berfungsi dengan baik.
d. Kecerdasan
Sosial (Social Quotient)
Kecerdasan ini menekankan pada
kepedulian terhadap lingkungan sekitar yang memerlukan bantuan orang lain.
Kecerdasan ini berhubungan dengan kehidupan dalam masyarakat, yaitu sebagai
penentu bagi seseorang untuk diterima dalam masyarakat.
e. Kecerdasan
Skill (Skill Quotient)
Kecerdasan ini yang mendorong
munculnya kecerdasan IQ, EQ, dan SQ, yaitu kecerdasan mengaplikasikan
kecerdasan-kecerdasan intelektual dan hati. Karakter yang lahir dari kecerdasan
tersebut tampak pada perilaku percaya diri, ramah, santun, tata kerama, dan
simpatik.
4.
Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter
Secara
umum, tujuan pendidikan karakter adalah untuk membangun dan mengembangkan
karakter peserta didik pada setiap jalur, jenis, dan jenjang pendidikan agar
dapat menghayati dan mengamalkan nilai-nilai luhur menurut ajaran agama dan
nilai-nilai luhur dari setiap butir sila dari Pancasila[21].
Secara khusus, pendidikan karakter bertujuan
mengembangkan potensi anak didik agar berhati baik, berpikiran baik,
berkelakuan baik, memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negara,
dan mencintai sesama umat manusia[22].
Thomas Lickona
berpendapat bahwa, “Character education has had two great goals: to help
people become smart and to help them become good”[23]
Sedangkan fungsi pendidikan karakter yaitu menumbuhkembangkan kemampuan
dasar peserta didik agar berpikir cerdas, berakhlak, bermoral, dan berbuat
sesuatu yang baik, yang bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat,
membangun kehidupan bangsa yang multikultur, membangun peradaban bangsa yang
cerdas, berbudaya yang luhur, berkontribusi terhadap pengembangan hidup umat
manusia, membangun sikap warga negara yang cinta damai, kreatif, mandiri,
maupun hidup berdampingan dengan bangsa lain.[24]
[1] http://kamusbahasaindonesia.org/pendidikan
[4] Ahmad Gaus, dkk. Cerita Sukses Pendidikan Multikultural di
Indonesia. (Jakarta: Center
For The Study Of Religion and Culture (CSRC) UIN syarif hidayatullah Jakarta,
2008),h.xviii
[5]Ali Maksum, Pluralisme dan
Multikulturalisme Paradigma Baru Pendidikan Islam Indonesia,(Jakarta:
Aditya media publishing), h. 203
[7] Ali Maksum, Pluralisme dan
Multikulturalisme,h.204
[8] Maslikhah, Quo Vadis
Pendidikan Multikultur : Rekonstruksi Sistem Pendidikan Berbasis Kebangsaan,
(Surabaya: STAIN Salatiga Press, 2007), h. 54
[9]http://ft.sunan-ampel.ac.id/publikasi/artikel/137-pendidiikan-multikultural-upaya-membangun- keberagam an-inklusif-di-sekolah.html
[10] Paul C. Gorski. Multicultural Education and the internet,(New York:
McGraw-hill higher Education,2005), second edition,h.13
[11] H.A.R. Tilaar, Multikulturalisme
Tantangan-tantangan global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional,(Jakarta:PT
Grasindo,2004)h.216
[14] Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan
Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduose Media Jakarta, 2011), h. 5
[15] James Wm. Noll, Taking
Sides: clashing views on controversial educational issues, (United States
of America: McGraw-Hill/Duskin, 2006) 13th expanded ed. h. 102
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.