Pengertian, Elemen, dan Jenis Pondok Pesantren
www.azid45.web.id - Pengertian, Elemen, dan Jenis Pondok Pesantren. Apa itu pondok pesanteren?, apa saja elemen dari pondok pesanteren?, dan apa saja jenis pondok pesantren?. Untuk mengetahui jawaban semua itu, anda bisa membaca artikel berikut ini;
Pengertian Pondok Pesantren
Kata “pondok” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti; kamar, gubuk, rumah kecil dengan menekankan kesederhanaan bangunannya. Pondok juga berasal dari bahasa Arab “funduq” yang berarti ruang tidur, wisma, hotel sederahan, atau mengandung arti tempat tinggal yang terbuat dari bambu.
Menurut etimologi (arti bahasa), kata “pesantren” brasal dari kata Santri denga awalan pe- dan –an yang berarti tempat tinggal para Santri. Sedangkan asal-usul kata santri ada berbagai pendapat sebagai berikut: Profesor Jahus berpendapat bahwa istilah Santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti “guru mengaji”.
Sedangkan C. C. Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari kata “ shastri” yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau sarjana ahli kitab agama Hindu. Ada juga yang berpendapat bahwa kata santri adalah pengambilalihan dari bahasa Sansekerta dengan perubahan pengertian, yaitu perkataan Santri yang artinya melek huruf.[1] Menurut beberapa ahli, istilah pesantren pada mulanya lebih dikenal di pulau Jawa karena pengaruh istilah pendidikan Jawa Kuno, yaitu dikenal sistem pendidikan di perguruan dengan Kyai dan Santri hidup bersama, yaitu suatu hasil pencangkokkan kebudayaan sebelum islam.[2] Disisi lain, ada yang mengatakan bahwa perkataan Santri sesungguhnya berasal dari bahasa jawa, dari kata ”cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu pergi menetap.[3]
Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam dengan seseorang atau beberapa Santri belajar pada pemimpin Pesantren (Kyai), dibantu oleh beberapa guru (Ulama/Ustadz). Di dalamnya terdapat lima elemen dasar yang tidak terpisahkan, yaitu: pondok, masjid, pengajaran kitab-kitab kuning, Santri dan Kyai. Inilah yang disebut sebagai tradisi Pesantren. Gus Dur menyebutkan sebagai sub kultur Pesantren, yaitu kultir sosio-religius yangmerupakan hasil interaksi kehidupan pondok, masjid, Santri, ajaran Ulama terdahulu yang tertuang dalam kitab klasik dan kehidupan Kyai.[4]
Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam, merupakakn sistem pendidikan Nasional asli, yang telah lama hidup dan tumbuh di tengah-tengah maysarakat Indonesia
Elemen-elemen Pondok Pesantren
Suatu lembaga akan berubah nama menjadi Pesantren bila memiliki lima elemen berikut ini; pondok, masjid, Santri, pengajaran kitab-kitab klasik dan Kyai.
Pertama, Pondok
Sebuah pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam Tradisional, dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar dibawah bimbingan seorang (atau lebih) guru (Kyai). Asrama tersebut berada dilingkungan komplek pesantren, dimana Kyai bertempat tinggal. Komplek Pesantren ini biasanya dikelilingi tembok untuk keluar masuknya Santri sesuai dengan peraturan yang berlaku.[5] Pada awal perkembangannya, pondok bukanlah sebagai tempat tinggal / asrama Santri, tetapi untuk mengikuti pelajaran yang diberikan Kyai ataupun sebagai tempat latihan Santri agar hidup mandiri dalam masyarakat. Para Santri di bawah bimbingan Kyai bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan dengan adanya semacam sewa atau iuran untuk pemeliharaan pondok.[6]
Pondok merupakan tempat aktivitas pribadi santri mulai dari menyimpan kitab, tidur, dan aktifitas-aktifitas dalam sehari-hari. Dengan demikian, pondok bagi santri seperti rumah sendiri dan mereka memiliki rasa kepemilikan cukup tinggi yang diwujudkan melalui roan (kerja bakti) yang membudaya dikalangan santri
Iklim keimuan pesantren begitu terlihat dengan keberadaan pondok sebagai tempat tinggal. Seluruh aktifitas santri diatur melalui jadwal mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Santri diawasi oleh pengurus pondok sebagai badal dari Kyai.
Kedua, Masjid
Masjid sebagai salah satu komponen pesantren memiliki multi fungsi yang menunjang aktifitas belajar di pesantren. Masjid selain difungsikan sebagai tempat jama’ah shalat lima waktu dan shalat jum’at juga difungsikan sebagai tempat pengajian kitab-kitab dan acara pengembangan santri seperti latihan khutbah jum’at, shalawat barzanji dan muhadarah.
Sebagaimana diungkapkan Dhofier, masjid sebagai mediastrategis pesantren untuk pengembangan wawasan keagamaan musyarakat sekitar pesantren. Hal iini dilakukan dengan cara melakukan pengajian secara berkala (biasanya selapan atau tida puluh lima hari sekali) dengan melibatkan maysarakat sebagai pesertanya.
Ketiga, Santri
Dalam tradisi pesantren, santri digolongkan menjadi dua kelompok yaitu:
Santri mukim, santri yang berasal dari tempat yang jauh dan menetap di lingkungan pesantren/pondok/asrama. Pada perkembangannya, di sebagian pesantren santri mukim dibedakan menjadi dua yaitu: Santri mandiri, santri yang seluruh biaya belajarnya di pesantren berasal dari diri sendiri, baik biaya syahriyah (iuran bulana), uang makan, peralatan belajar dan biaya lainnya sesuai kebijakan masing-masing Santri khadim, santri yang biaya belajarnya di pesantren ditanggung oleh pengasuh pesantren (Kyai). Hal ini biasanya di latarbelakangi oleh kondisi ekonomi orang tua santri yang kurang mampu. Mereka termotivasi dan berkeyakinan mendapatkan berkah dengan cara khidmah (melayani) kyai dan dzuriyahnya.
Santri Kalong, yaitu santri-santriyang berasal tidak jauh dari pesantren/ dari desa-desa sekitar pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam pesantren. Mereka pulang pergi dari rumah masing-masing ke pesantren untuk mengikuti pelajarannya di pesantren setiap hari.
Keempat, Kyai
Kyai adalah komponen yang paling esensial dalam sebuah pesantren. Hal ini dapat dipahami bahwakyai pada umumnya adalah pendiri, pengelola dan kadang-kadang sebagai penyandang dana sekaligus. Kyai sebagai figur yang memiliki legitimasi sangat kuat dalam menentukan kebijakan pesantren.
Menurut asal usulnya, istilah kyai dalam bahasa Jawa memiliki tiga makna yang berbeda:
- Sebagai gelar benda-benda keramat, seperti “ kyai Garuda Kencana” sebutan untuk kertas emas di keraton Yogyakarta
- Gelar kehormatan untuk orang tua pada umunya.
- Gelar yang deberikan masyarakat kepada ahli agama islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan pengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya.[7]
Istilah kyai pada nomor tiga adalah istilah kyai yang dimaksud dalam penelitian ini. Perlu diketahui, sebutan kyai berlaku pada masyarakat Jawa Timur dan Jawa Tengah. Di Jawa Barat (Sunda) disebut dengan ajengan. Di daerah Nusa Tenggara dan kalimantan disebut dengan tuan guru. Di daerah Sumatra Utara (Tanapuli) disebut syaihk. Di daerah Minangkabau disebut denga buya Sedangkan di aceh disebut dengan teungku.[8]
Pengertian kyai dewasa ini telah mengalami pergeseran makna. Gelar kyai tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang memimpin pesantren, tetapi juga diperuntukkan bagi ahli agama di luar peantren.
Kelima, Kitab Kuning
Disebut dengan kitab kuning (al-kutub al-sofro’a) karena kertas yang dipakai untuk menulis menggunakan kertas yang berwarna kuning. Sebutan lainnya adalah kitab islam klasik karena merupakan hasil karya para ulama abad pertengahan.
Ciri lain yang diergunakan di pesantren itu ialah beraksara Arab gundul (huruf Arab tanpa harakat atau shakal).keadannya yang gundul itu pada sisi lain merupaka bagian dari pembelajaran itu sendiri. Pembelajaan kitab-kitab gundul itu keberhasilannya antara lainditentukan oleh kamampuan membuka kegundulan itu dengan menemukan harakat-harakat yang benar dan mengucapnya secara fasih.
Sistematika penulisan kitab kuning begitu maju dengan urutan kerangka mulai dari tema yang besar laludilanjutkan menjadi tema yang lebih khusus. Secara berturut-turut isi dari kitab klasik itu dimulai dari kitabun, babun, faslun, far’un. Sering juga ditemukan kitab dengan kerangka Muqaddimah dan khatimah.[9]
Kitab-kitab klasik yang di ajarkan di pesantren pada masa lalu terutama karangan-karangan ulama yang menganut faham syafi’iyah merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren. Kitab-kitab yang diajarkan tersebut dapat digolongkan dalam 8 kelompok: 1. Nahwu dan sharaf 2. Fiqih 3. Ushul fiqih 4. Hadist 5. Tafsir 6. Tauhid 7. Tasawuf dan etika 8. Cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Kitab-kitab tersebut meliputi teks mulai yang terpendek hingga yang berjilid-jilid dan dibagi dalam tiga tingkatan yaitu kitab-kitab dasar, kitab-menengah dan kitab-kitab besar.[10]
Sistem pendidikan dan pengajaran pondok pesantren
Sejarah perkembangan pesantren pertama kali memiliki model yang bersifat klasikal, yaitu menggunakan metode pengajaran sorogan, bandongan dan halaqah
Pertama Sorogan. Sorogan adalah cara mengajar per kepala (santri) dari kiai atau badalnya (biasanya santri-santri senior) [11] atau secara individual menghadap kyai. Di pesantren besar, sorogan dilakukan oleh dua atau tiga orang santri saja, yang biasanya terdiri dari keluarga kyai atau santri-santri yang diharapkan kemudian menjadi orang alim.[12]
Cara dari sistem ini adalah kyai membacakan beberapa baris dari kitab yang akan di kaji kemudian menerjemahkannya dalam bahasa jawa. Pada gilirannya, santri mengulangi dan menerjemahkan kata demi kata sepersis mungkin seperti yang dilakuan oleh kyai. Sistem penerjemahan dibuat sedemikian rupa sehingga para santri diharapkan mengetahui baik arti maupun fungsi kata dalam suatu kalimat bahasa arab.[13]
Kedua, Halaqah
Disebut halaqah karena para santri membentuk lingkaran, yaitu kyai mengajarkan kitab tertentu kepada sekelompok santri, di mana baik kyai maupun santri sama-sama memegang kitab. Kyai membacakan dan menerangkan isi kitab, kemudian santri mendengarkan dengan seksama. Pada tingkat weton lebih tinggi, sebelum mengikutinya, santri terkebihdahulu harus mempelajarinya, sehingga dengan demikian, santri tinggal mencocokkan pemahamannya dengan kyai. Di sini tidak ada ujian, namun dengan pengajaran secara halaqah ini dapat diketahui kemapuan santri[14]
Ketiga, Bandongan
Sistem pengajaran yang serangkaian dengan sistem sorogan dan weton adalah sistem bandongan, yang dilakukan saling kait mengkait dengan sebelumnya.[15] Dalam sisten ini sekelompok murid (antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru membaca, menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku islam dalam bahasa arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri-sendiri dan membuat catatan-catatan (baik arti/keterangan) tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit.[16]
Fungsi pondok pesantren
Dimensi fungsional pondok pesantren tidak lepas dari hakikat dasarnya, bahwa pondok pesantren tumbuh berawal dari masyarakat. Oleh karena itu, perkembangan masyarakat sekitarnya tentang pemahaman keagamaan (Islam) lebih jauh mengarahkah kepada nilai-nilai normatif, edukatif, progresif. Dengan demikian, fungsi pondok pesantren tidak lepas dari segi normatif, edukatif, dan progresif.[17]
Pertama, Sebagai lembaga pendidikan
Berawal dari bentuk pengajian sederhana, kemudian berkembang menjadi lembaga pendidikan secara reguler yang diikuti oleh masyarakat, dalam pengertian memberi pelajaran secara material dan immaterial. Secara material, titik tekannya adalah mapu menghantamkannya sesuai target, tanpa diharapkan pemahaman lebih lanjut tentang pemahaman sis. Sedangkan secara immaterial yaitu, titik tekannya pada suatu upaya perubahan sikap santri, agar menjadi pribadi yang tangguh dalam kehidupannya.[18]
Kedua, Sebagai lembaga dakwah
Disini pesantren berusaha menumbuhkan kesafaran beragama atau melaksanakan ajaran-ajaran agama secara konsekuen sebagai pemeluk agama islam.
Ketiga, Sebagai lembaga sosial
Hal ini menunjukkan keterlibatan pesantren dalam menangani masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat baik masalah duniawi maupun masalah ukhrowi.
[1] Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang demokras ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999),hal. 61
[2] Musthafa Syarif, Administrasi Pesantren, (Jakarta: Paryu Barkah, 1982),hal. 5
[3] Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang demokras 61-62
[4] Bahtiar Effendy, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam, (Jakarta: Paramadina, 1998), hal. 70-75.
[5]Martin Van Brunessen, Kitab Kunig, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesi (Bandung: Mizan,1999), hal. 44
[6] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: Raja Grafindo Press, 1999), hal. 142
[7]Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, 55
[8]Tim Pengembang Ilmu Pendidikan FIP-UPI, Bagian IV: Pendidikan Lintas Bidang ( Bandung: Imperial Bhakti Utama, 2007), 444
[9] Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial (Yogyakarta: LkiS, 2003), Cet. II, hal. 260
[10] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, hal. 50.
[11] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 145
[12] Muhammad Bahri Ghazali, pesantren berwawsan lingkungan (jakarta: prasasti, 2002), 29
[13] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, 28
[14]Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, 145-146
[15] Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, 30
[16] Zamakhsyari, Trasisi Pesantren, 28
[17] Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, 35
[18] Bahri Ghazali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, 36
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.