Prinsip Kepemimpinan Islam dalam Berbagai Sudut Pandang
Kepemimpinan atau yang dalam istilah Arab disebut dengan imāmah[1](syīah)
dan khalifah[2]
(sunni) adalah pemimpin menyeluruh yang berkaitan dengan urusan
keagamaan dan urusan dunia.[3]
Pemimpin yang dimaksud di sini adalah kegiatan atau proses hubungan antar
pribadi yang didalamnya seseorang mempengaruhi sikap, kepercayaan, perilaku
orang lain. Dalam terminology lain, didefinisikan sebagai proses membujuk orang
lain untuk mengambil langkah menuju sasaran bersama.[4]
Istilah khalifah di dalam Al-Qur’an sepadan dengan istilah amīrul
mukminīn dan imāmah.[5]
Keduanya memiliki peran dan fungsi yaitu selain sebagai penegak syariah juga
bermakna penguasa dan pengatur kehidupan di muka bumi ini.[6]
Kata khalifah sering diartikan sebagai pengganti,
orang yang mengganti itu berada sesudah orang yang diganti dan ia menempati
kedudukan tersebut,[7] serta
untuk menjalankan fungsi – fungsi dan tujuan diangkatnya khalifah.[8]
Kedudukan manusia sebagai khalifah dapat dipahami
dari klausa surat al-Baqarah ayat 30:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٞ فِي
ٱلۡأَرۡضِ خَلِيفَةٗۖ قَالُوٓاْ أَتَجۡعَلُ فِيهَا مَن يُفۡسِدُ فِيهَا وَيَسۡفِكُ
ٱلدِّمَآءَ وَنَحۡنُ نُسَبِّحُ بِحَمۡدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَۖ قَالَ إِنِّيٓ
أَعۡلَمُ مَا لَا تَعۡلَمُونَ ٣٠[9]
Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".
Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu
orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"
Dalam ensiklopedi Al-Qur’an, kata khalifah mempunyai
makna ganda yaitu:
Pertama,
dimaknai dengan kepala Negara dalam suatu pemerintahan atau kerjaan Islam yang
pengertiannya sama dengan penguasa besar atau paling tinggi.
Kedua,
sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang mengandung pengertian bahwa khalifah diwujudkan
dalam jabatan kepala Negara atau fungsi manusia itu sendiri secara keseluruhan
yang diciptakan Tuhan.[10]
Paradigm pemikiran para juris Sunni dalam mendefinisikan khalifah
dan imāmah atau kepemimpinan lebih dipengaruhi oleh kepemimpinan khulafa’
al-Rasyidin.[11]
Para khalifah ini memiliki kapasitas sebagai pemimpin agama dan pemimpin
politik dalam memimpin agama Islam seperti fungsi Nabi. Pandangan ini kemudian
memunculkan ungkapan al-Islām Dīn wa Daulah.[12]
Ungkapan yang menekankan pada Islam totalitas, yaitu Islam meliputi segala
aspek kehidupan manusia.
Paradigm pemikiran Sunni kalsik juga dilakukan kembali
oleh Al-Maududi di zaman modern, ungkapnya hukum Islma adalah tatanan yang mencakup
seluruh tatanan kemasyarakatan secara sempurna. Karena itu pula hukum Islam
tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik atau Negara.
Kalangan Sunni memandang imāmah tidak ada
kaitannya dengan agama tetapi hanya semata – mata kebutuhan social saja, dan
tidak ada kewajiban menegakkan imāmah selain untuk memenuhi kepentingan
umum saja. Karena dikhawatirkan kalau tidak ada imam masyarakat akan kacau (chaos).[13]
Kalangan Sunni memiliki pemikiran yang berbeda tentang
ekstensi khilafah dan imāmah atau kepemimpinan, maka di kalangan
kaum syi’ah begitu kental dan tidak berubah sampai sekarang. Kaum syi’ah tetap
memelihara konsep dasar yang fundamental
tentang doktirn imāmah sebagai
kepemimpinan yang berdimensi spiritual dan politik.
Imāmah dalam
literatur Syi’ah dipandang sebagai syarat penting bagi terlaksananya
pemerintahan Tuhan di muka bumi ini. Imam Ja’far As-Shodiq imam Syi’ah yang
keenam menjelaskan dengan ungkapan yang tegas bahwa:
“Imāmah merupakan
perjanjian antara Tuhan dan manusia, dan mengakui imam merupakan kewajiban
mutlak bagi tiap muslim. Barangsiapa mati tanpa mengenal dan mengakui imam
zamannya maka ia mati sebagai orang kafir. Imam suatu zaman adalah saksi bagi
masyarakat dan ia adalah gerbang menuju Allah SWT jalan kearah-Nya, tuntunan ke
sana (dalil) gudang ilmunya serta wahyu – wahyunya. Imam pada zamannya adalah
pilar keesaan Tuhan (tauhid). Sang imam masih bersih dari dosa dan kekeliruan.
Para imam adalah mereka yang oleh Allah SWT telah dihilangkan seluruh kotoran
dan dibersihkan dengan sebersih – bersihnya. Mereka dapat disamakan dengan umat
perahu Nabi Nuh, siapa yang menumpangnya akan selamat dan meraih pintu taubat.”[14]
Bagi kaum syi’ah imam adlaah ma’sūm (sinless and
infallible) sebagai pemimpin agama dan pemimpin politik bagi komunitas
muslim. Dan yang berhak memgang otoritas spiritual dan politik setelah Nabi
wafat adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya.[15]
Doktrin ini dipegang oleh Syi’ah Immamiyyah atau Syi’ah Dua Belas.
Ibnu Khaldun mengartikan khalifah adalah tanggung
jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan – peraturan syariat untuk mewujudkan
kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat. Jadi pada hakekatnya khalifah adalah
pengganti fungsi penegak syariat Rasul SAW dalam memelihara urusan agama dan
mengatur persoalan social politik.[16]
Menurutnya dalam masyarakat diperlukan seorang al-Wazīr atau pemimpin
yang mampu mencegah perbuatan aniaya, baik dari dalam maupun dari luar
masyarakat. Pemimpin itu diakui dan diikuti karena memiliki kekuatan dan
pengaruh terhadap masyarakat.[17]
Al-Mawardi mengartikan sebutan khilafah sebagai
pemimpin tertinggi dalam urusan agama dan dunia yang bermakna pengganti
Rasulullah SAW yakni menggantikan Rasulullah SAW dalam kapasitasnya sebagai
pemimpin masyarakat dan bukan berarti sebagai pengganti yang dalam kapasitasnya
seperti Rasulullah SAW, alasannya bahwa kedudukan Nabi dan Rasul tidak bisa
digantikan. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi terakhir atau penutup (khātimul
anbiyā’).[18]
Sedangkan menurut As Sayuti, khalifah adalah kepala pemerintahan umat
Islam.[19]
Menurut al-Mawardi ada dua jenis pengangkatan. Pertama,dengan cara
pemilihan oleh Ahlu al Halli wa Al-‘Aqdi (mereka yang mempunyai wewenang
untuk mengikat atau mengurai) atau
itulah yang disebut ikhtiyar, kedua, penunjukkan atau wasiat imām
sebelumnya.[20] Dalam
sejarah Islam, pemilihan kepala daerah ditunjuk atau diangkat oleh imām atau
khalifah.[21]
Pengertian pemimpin di atas mengindikasikan bahwa adanya
hubungan yang sangat erat antara pemimpin yang mendapat legitimasi teologis (ukhrowi)
serta legistimasi profanistik (duniawi). Menurut penulis legistimasi di
atas memberikan pengaruh bagi kehidupan dan cara pandang umat terhadap imāmah
atau kepemimpinan terutama aspek teologisnya yang tidak akan pernah pudar.
Menurut Ali Abd al-Raziq dan Thaha Husein, Islam tidak
ada kaitannya dengan urusan politik Negara.[22]
Islam tidak ada kekuasaan keagamaan dan bahwa seluruh masyarakat dalam semua
bidang kehidupan mempunyai hak – hak yang sama tanpa dibedakan oleh agama.
Kejayaan dan kemakmuran Islam dapat terwujud kembali bukan dengan jalan kembali
kepada ajaran Islam yang lama, dan bukan pula dengan mengadakan reformasi serta
pembaharuan hukum islam.
Berbeda dengan Ibnu Taimiyah dlaam memandang kedudukan
pemimpin yang hanya memprioritaskan jabatan sebagai amanah yang harus
dilaksanakan sebaik-baiknya.
Kepemimpinan dalam Islam seperti diuraikan di atas
merupakan keharusan syar’I dan merupakan kebutuhan primer yang tidak boleh diabaikan.[23]
Rakyat harus diatur dan tunduk oleh system dan aturan hukum yang diterapkan
pemimpin.[24]
Ibnu Taimiyah menyebutkan pula bahwa sebetulnya tidak
terlalu penting membicarakan bagaimana cara pengangkatan kepala Negara, yang
terpenting adalah orang yang menduduki jabatan itu harus benar – benar orang
yang dapat menunaikan amanat dan dapat menciptakan keadilan. Bahwak dia
membiarkan adanya pejabat yang zalim seperti halnya ia mengutip “semalam
diperintah oleh pemimpin yang zhalim lebih baik daripada tidak ada pemimpin
selama 60 tahun”.
Kriteria pemimpin dalam Islam selalu berpijak pada
dimensi Tauhid. Bahkan hampir semua buku – buku fiqhu as-siyāsah klasik
tanpa kecuali memberikan syarat yang ketat siapa yang sah menjadi seorang
pemimpin Negara. Diantaranya syarat – syarat tersebut, ada dua syarat mutlak
yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin yaitu syarat Islam dan laki – laki.
Dalam kepemimpinan konteks di Negara – Negara Islam
dikenal dasar – dasar konspetual sebagai fondasi dari filosofis kepemimpinan
yang selanjutnya berkembang dengan karakteristik dan kekhasannya masing –
masing, semisal di Indonesia telah memiliki falsafah kepemimpinan yang
diistilahkan dengan Astha Bratha.[25]
Ki Hajar Dewantara menjabarkan jenis kepemimpinan baru
yaitu agar:[26]
Pertama, Ing
Ngarsa Sung Tuladha, jika ia (pemimpin) berdidri didepan harus menjadi suri
teladan bagi orang – orang yang dipimpinnya (memberi teladan).
Kedua, Ing Madya Mangun Karso,jika ia berdiri ditengah – tengah harus mampu memberi
semangat atau menimbulkan kehendak bagi orang yang dipimpinnya.
Ketiga, Tut Wuri Handayani,jika ia berdiri dibelakang, maka ia harus mengawasi yang
dipimpin dengan baik agar dapat mencapai tujuan dengan selamat.
Dari konseptual dan prinsip – prinsip kempemimpinan
(pemerintahan) dalam Al-Qur’an dan al-hadits antara lain:
a.
Prinsip Tanggung Jawab (Responsibility)
Di dalam islam telah digariskan bawa setiap diri adalah
pemimpin dan utnuk kepemimpinan itu seorang pemimpin dituntut untuk bertanggung
jawab, tidak hanya tanggung jawab yang bersifat horizontal (hamlum min
an-nās) tapi juga bersifat vertical (hablum min allāh). Guna
memahami akan makna tanggung jawab, subtansi utamanya adalah amanah yang harus
terlebih dahulu dilaksanakan oleh seorang calon pemimpin agar amanah yang
diserahkan kepadanya tidak disia-siakan.
b.
Prinsip Etika Tauhid
Kepemimpinan Islam dikembangkan di atas prinsip – prinsip
etika tauhid.[27]
Persyaratan seorang pemimpin yang telah digariskan oleh Allah SWT di dalam
Al-Qur’an adalah iman.
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّخِذُواْ بِطَانَةٗ مِّن دُونِكُمۡ لَا
يَأۡلُونَكُمۡ خَبَالٗا وَدُّواْ مَا عَنِتُّمۡ قَدۡ بَدَتِ ٱلۡبَغۡضَآءُ مِنۡ
أَفۡوَٰهِهِمۡ وَمَا تُخۡفِي صُدُورُهُمۡ أَكۡبَرُۚ قَدۡ بَيَّنَّا لَكُمُ
ٱلۡأٓيَٰتِۖ إِن كُنتُمۡ تَعۡقِلُونَ ١١٨[28]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak
henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang
menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami
terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya
Dalam ayat diatas
Allah SWT menegaskan kepada seluruh orang – orang beriman agar tidak memilih
orang - orang kafir untuk mendampingi
dalam urusan – urusan penting seperti dalam mengatur masalah agama. Untuk itu
memilih seorang pemimpin standar iman harus diperhatikan.
Kriteria tersebut dalam pandangan fiqhu as-siyāsah klasik
tidak bisa ditawar lagi, dengan kata lain sudah merupakan kemutlakan dalam
kepemimpinan islam. Namun, dlama paradigm Ali Abd ar-Raziq dan Thaha Husein
dikemukakan sebaliknya.
c.
Prinsip Musyawarah
Prinsip – prinsip dasar kehidupan masyarakat yang
diterangkan Islam tidak ada yang secara langsung berkaitan dengan pemilihan
kepala daerah. Namun Islam justru meletakkan suatu dasar yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan atau melaksanakan suatu urusan (termasuk pengambilan
keputusan utnuk mengangkat pemimpin). Allah SWT berfirman:
وَٱلَّذِينَ ٱسۡتَجَابُواْ لِرَبِّهِمۡ وَأَقَامُواْ
ٱلصَّلَوٰةَ وَأَمۡرُهُمۡ شُورَىٰ بَيۡنَهُمۡ وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ
٣٨ [29]
Artinya :Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya
dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat
antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan
kepada mereka
Ayat diatas mengandung pengertian bahwa setiap menghadapi
persoalan atau suatu urusan dilakukan dengan musyawarah atau dalam pemerintahan
Islam lebih dikenal dengan istilah syūrā. Ayat ini diturunkan setelah
kaum muslimin terpukul mundur di dalam perang uhud, setelah Rasul memakai
pendapat mayoritas masssa dan meninggalkan pendapatnya sendiri, dalam rangka
menerapkan prinsip musyawarah.[30]
d.
Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan berguna untuk menjaga keseimbangan
kepemimpinan, dimana kepemimpinan merupakan lembaga keagamaan yang mengawasi
lembaga lain. Hal ini bertujuan juga untuk menjaga agar tidak muncul stigma –
stigma ketidakadilan seperti kelompok marginal dan lain – lain. Allah berfirman:
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ
فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن
سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ
شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ [31]
Artinya: Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di
muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan
Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab
yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan
berlaku adil dalma menjalankan kepemimpinan dlaam
pandangan ulama fikih identic dengan makna takwa. Di samping itu para ulama
menambah kata warā’ yang muatannya harus terselesaikan dalma jiwa
seorang pemimpin.[32]
Ibnu Khaldun, Ibnu Taimiyah, Imam Ghazali, dan Al-Mawardi
adalah tokoh – tokoh yang mengharuskan seorang pemimpin memiliki prinsip
keadilan. Bahkan al-Mawardi mempertegas makna adil yaitu apa – apa yang
diucapkan dan menjauhi perbuatan dosa, tidak melakukan perbuatan yang dilarang,
serta menghindari perbuatan yang memunculkan keraguan serta harus menjadi
panutan serta contoh bagi agama dan dunianya.[33]
Syarat – syarat tersebut diakui oelh para ulama sebagai persyaratan esensial
bagi orang yang akan menduduki jabatan pemerintahan atau kepemimpinan.
e.
Prinsip Ketaatan Kepada Pemimpin
Prinsip ketaatan kepada pemimpin terutama dalam
Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ
وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي
شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ
وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩ [34]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya
Ketaatan kepada pemimpin tidaklah merupakan ketaatan yang
mutlak yang harus dilaksanakan. Ketentuan daripada ketaatan kepada pemimpin
sangat memperhatikan dan mendahulukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Bahkan dalma konteks keislaman ketentuan ketaatan tersebut harus tidak
kontradiktif terhadap apa yang telah ditentukan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Lebih
jelas lagi ketaatan terhadap pemimpin ini telah dijelaskan dalam Al-Hadits
sebagai berikut:
ابن عمر رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:
على المرء المسلم السمع والطاعة فيما أحب وكره، إلا أن يؤمر بمعصية فإذا أمر
بمعصية فلا سمع ولا طاعة.[35]
f.
Prinsip Kesederhanaan
Rasulullah SAW menggarskan bahwa seorang pemimpin itu
harus melayani dan tidak meminta untuk dilayani. Hal ini sebagaimana disabdakan
oleh Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Na`im yang mengatakan bahwa pemimpin suatu
kaum adalah pengabdi (pelayan) mareka.[36]
g.
Persamaan
Prinsip persamaan yang tertian dalam Al-Qur`an yaitu:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ
وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ
أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣ [37]
Artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal
Prinsip persamaan ini juga tertuang di dalam Undang –
Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Segala warga Negara bersamaan kedudukannya di
depan hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung hukum dalam pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.[38]
Allah SWT mewajibkan amar ma’rūf nahi munkār,
dalam hal in tidak bisa direalisasikan dengan sempurna kecuali dengan kekuatan
dan kepemimpinan, demikian pula kewajiban – kewajiban seperti keadilan,
kesejahteraan. Oleh karena itu kepemimpinan merupakan faktor yang sangat
penting untuk diberlakukan atau dijalankan.
[1] Sebutan imām dalam
sejarah Islam paralel dengan kata khalfah. Kata imām turun dari
kata amma yang berarti “menjadi ikutan”. Kata imām berarti
pemimpin, atau contoh yang harus diikuti dan atau “mendahului, mempimpin”.
Kedudukan imām sama dengan kedudukan khalifah yaitu pengganti
Rasul sebagai pemelihara agama dan penanggung jawa urusan umat penggunaan gelar
imām lahir dari kalangan Syi’ah namun, kalangan sunni terutama pada era
dinasti Abbasiyah juga mengapdosi gelar tersebut. Suyuti Pulungan, Fiqih
siyasah. Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka,
1997), hal.62
[2] Bentuk mufrad dari kata khalāif
adalah khofifat yang dipergunakan dalam dua ayat yaitu pada QS.
Al-Baqarah: 30 dan QS. As-Sad: 26, sedangkan bentuk jamaknya khulafā’ dipergunakan
daam tiga ayat yaitu QS. Al-A’raf: 69, dan QS. An-Naml: 62.
[3] Suyuti Pulungan, Fiqih
siyasah. Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Jakarta: Raja Grafindo Pustaka,
1997), hal.45
[4] Aunur Rokhimin dan Lip
Wijayanto, Kepemimpinan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hal.2
[5] M. Dhiauddin Rais, Teori
Politik Islam, cet VI/tt, (Jakarta: Gema Insan Press, 2001), hal.73
[6] Abdul Muin Salim, Fiqih
Siyasah Konsepsi Politik dalam Al-Qur’an, cet III, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada), hal.115
[7] Taufiq Rahman, Moralitas
Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an, cet ke-I, (Bandung: Pustaka Setia,
1999), hal.21
[8] Mengenai tujuan atau pentingnya
pengankatan khalifah diantaranya ada beberapa pendapat yaitu:
Pengangkatan khalifah (imām)
untuk memelihara agama dan mengaur urusan dunia.
1.Menegakkan keadilan dan kehidupan
manusia dan menghentikan kezaliman serta menghancurkan kesewenang – wenangan.
2.System yang berkenaan dengna
mendirikan sholat dan mengeluarkan zakat melalui segala daya dan upaya yang
dimiliki oleh pemerintah yaitu bagaimana Negara bisa menyebarkan hal – hal yang
mā’ruf.
3.Menegakkan untuk mewujudkan
Negara “Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghafur” yaitu Negara yang aman,
sejahtera, serta dalam ampunan Allah SWT.
4.Menciptakan kesejahteraan umat
baik muslim maupun non muslim, mengajarkan ajaran – ajaran tentang ibadah dan
muamalah, mengarjakan tetang social ekonomi, pemerintahan dan politik.
5.Menjaga kesatuan dan persatuan
umat dan Negara.
[9] Al-Baqarah (2): 30
[10] M. Dawan Raharjo, Ensiklopedi
Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep – Konsep Kunci, cet ke-II,
(Jakarta: Paramadina, 2002), hal.346
[11] Suyuti Pulungan, Fiqih
siyasah. Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal.46
[12] Islam adalah agama dan Negara.
Lihat Muhammad Fuad A’bd al-Baqi, al- Al-Mu’jām al-Mufahras li al-fāzh al-
Al-Qur’an Al’Karim, (Dar al-Fikr: Beirut, 1987/1407), hal.262-263
[13] M. Jafri, Awal dan Sejarah Perkembangan Islam
Syi’ah dari Tsaqifah Sampai imāmah, alih Bahasa Meith Kieraka, (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1995), hal.390
[14] M. Jafri, Awal dan Sejarah
Perkembangan Islam Syi’ah dari Tsaqifah Sampai imāmah, alih Bahasa Meith
Kieraka, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995), hal.390
[15] Suyuti Pulungan, Fiqih
siyasah. Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, hal.46
[16] A. Djazuli, Fiqih Siyasah: Implementasi
Kemaslahatan Umat dalam Rambu – Rambu Syariah, cet ke-I, (Bogor: Kencana,
2003), hal.88
[17] Abd. Rahman bin Khaldun, Muqaddamat
al-‘Alamāt Ibnu Khaldun, (t.t: Dar al-Fikr, t.th.), hal.132
[18] Abul A’la al Maudadi, “Khilafah
dan Kerajaan Evaluasi Kritikan Atas Sejarah Pemerintahan Islam”, Alih
Bahasa Muhammad al Baqir, cet ke-I, (Bandung: Mizan, 1993), hal.63
[19] Abd. Ar Rahman Jalal ad Din as
Sayuti, ad-Dār al Mansūr fī an Tafsīr al Maā’sur, (Beirut: Dār al Fikr,
1983/1403), hal.169
[20] Imam Al-Mawardi, al-Ahkām
al-Sultāniyah: Prinsip – Prinsip Penyelenggaraan Negara dalam Syariat Islam, alih
Bahasa Fadhli Bahri, cet ke-I, (Jakarta: Darul Falah, 2000), hal.64
[22] Munawir Sjdzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran,
Sejarah, dan Pemikiran, hal.138
[23] Ibid, hal.76
[24] Daud Rasyid, Islam dalam
Berbagai Dimensi, cet ke-I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1998), hal.299-301
[25] Astha Bratha merupakan
teori kepemimpinan yang khusus diajarkan kepada seorang calon kepala Negara
atau raja. Astha Bratha sendiri berarti delapan watak, delapan sifat
atau delapan laku (kegiatan). Tidka terlalu jelas siapa yang mencetuskan Astha
Bratha karena dalam khasanah budaya Jawa terdapat beberapa versi tentang Astha
Bratha. Adapun delapan watak itu melambangkan watak – watak nbathoro dalam
pewayangan yang meliputi watak bumi (berbudi darma suka memberi kesenangan
kepada orang lain), wkatk air (selalu dapat menampung segala persoalan tanpa
emosi), watak api (dapat membersihkan segala yang kotor), watak dingin (luwes
dalam bergaul), watak matahari (tenang tidak terburu – buru), watak bulan
(selalu berseri –seri sebagai petunjuk akan alusnya budi), watak bintang
(lambang ketabahan), dan watak mendung (berani memberi hukuman). Astha
Bratha versi Babad Sang Kolo ini dalma waktu yang lama telah
mempengaruhi kehidupan kenegaraan raja – raja di tanah Jawa. Lihat, Aunur Rahim
Fakih dan Lip Wijayanto, “Kepemimpinan Islam”, (Yogyakarta: UII Press,
2001), hal.13
[27] Aunur Rokhim Fakih dan Lip
Wijayanto, Kepemimpinan Islam, hal. 2
[28] Ali Imran (3): 118
[29] As-Syūrā (42): 38
[30] Ni`matul Huda, Negara Hukum,
Demokrasi dan Judicial Review, (Yogyakarta: Penerbit UII Press, 2005),
hal.18
[31] As-Sād (38): 26
[32] Sayyid Qutb menyatakan bahwa
dalil diatas menghendaki keadilan yang menyeluruh diantara sesama manusia, bukan
keadilan sesama muslim atau sesama Ahlul al-Kitab dan tidak pula atas sebagian
manusia saja. Keadilan adalah hak semua manusia sebab sifatnya sebagai manusia,
dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran – ajaran ketuhanan. Lihat,
Sayyid Quṭb, fi Zhilāl Al-Qur’ān, jilid V, (Bairut: Ihyā al-Turās
al-‘Arabī, 1386/ 1967), hal.118
[33] Al-Mawardi, al-Ahkām
al-Sultāniyah, (Mesir: Mathba’ah al-Wathān, 1298H), alih Bahasa M.
Dhiauddin Rasi dalam Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insani Press,
2001), hal.236
[34] An-Nisā (4): 59. Dalma pandangan
ulama terdapat batasan ketaatan terhadap pemimpin. Batasan ketaatan tersebut
yaitu tidak terlanggarnya ketentuan – ketentuan hukum primer diatasnya yaitu
hukum Allah SWT (Al-Qur’an) dan RasulNya (Al-Hadits)
[35]HR. Al-Bhukoriy dalam Kitab
Al-A;hkam (4/no.6725) & Kitab Al-Jihad (107/no. 2796), Muslim (1839)
[36] Hadari Nawawi, Kepemimpinan
Menurut Islam, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 199), hal.173
[38] Pasal 27 ayat 1
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.