Prinsip - Prinsip Pidana dalam Islam
Hukum
dalam istilah Islam yang sering disebut al-‘uqubah,[1]
yaitu bentuk balasan bagi seseorang yang atas perbuatannya melanggar ketentuan
syara’ yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya untuk kemaslahatan manusia.[2]
Menurut
Sudarto yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan
kepada orang yang melakukan perbuatan-perbuatan yang memenuhi syarat-syarat
tertentu.[3]
Perbuatan
melanggar ketentuan syarat’ dalam diogmatik hukum pidana Indonesia ialah
perbuatan dan sifat melawan hukum. Ada empat maka sifat melawan hukum atau wderrechttelijk.[4]
Guna
mengetahui arti yang dimaksud perlu dibedakan meliputi:[5]
a.
Sifat melawan
hukum umum, yaitu diartikan seagai syarat umum dapat dipidana
seperti yang disebut dalam pengertian perbuatan pidana.
b.
Sifat melawan
hukum khusus, juga dinamakan “sifat melawan hukum faset”
yang sering ditulis dalam rumusan delik. Jadi sifat melawan hukum merupakan
syarat tertulis untuk dapat dipidana.
c.
Sifat melawan
hukum formal, istilah inni berarti semua bagian yang
tertulis dari rumusan delik yang telah terpenuhi untuk dapat dipidana.
d.
Sifat melawan
hukum materil, sifat melawan hukum yang melanggar
atau yang membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembentuk
undang – undang dalam rumusan delik tertentu.
Dalam
pandangan Siswanto Sunarso, suatu perbuatan dikatakan melawan hukum dan dapat
dikenakan sanksi pidana harus memenuhi dua unsur, yaitu:[6]
a.
Adanya unsur Actul
Reus atau unsur esensial dari kejahatan (Phisycal Element). Zaenal
Abidin Farid memandang Actus Reus termasuk pertanggungjawaban pembuat.
b.
Mens Rea
(mental elemen), yakni keadaan sikap batin.
Abd
Al-Qadir Awdah mendefinisikan hukuman sebagai suatu penderitaan yang dibebankan
kepada seseorang akibat perbuatannya melanggar aturan.[7]
Hukuman dalam Islam diterapkan setelah terpenuhi beberapa unsur, yaitu:[8]
1) Bersifat
umum, yaitu unsur yang harus terpenuhi pada sertiap jarimah (delik) yang
terdiri dari tiga hal, yaitu:[9]
a. Ar-Rukn asy-Syar’I, yaitu adanya
nash yang mengundangkannya. Dalam konsepsi hukum pidana Indonesia syarat ini
disebut sebagai syarat formil atau asas legalitas.
b. Ar-Rukn al-Mazdi, yaitu adanya
perbuatan yang melanggar hukum. Dalam konsepsi hukum pidana Indonesia syarat
ini disebut sebagai syarat materil.[10]
c. Ar-Rukn al-Adzabi, yaitu
orang yang berbuat pidana dapat dimintai pertanggungjawaban pidanan. Azaz ini
juga dikenal dengan “tindak pidana jika tidak ada kesalahan” (Green Straf
Zonder Schuld).[11]
2) Bersifat
khusus
Ketentuan
diatas diberlakukan karena hukuman dalam agama Islam dianggap sebagi sebuah
tindakan ikhtiyat, bahkan hakim dalam islam harus menegakkan dua
prinsip.[12]
a. Hindari
hukuman hadd dalam perkara yang mengandung subhat.
b. Soerang
imam atau hakim lebih baik salah memaafkan dari pada salah menjatuhkan hukuman.
Khusus
dalam masalah tindak pidana (criminal act), maka ada dua hal yang tidak
dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan pernah terputus,
yaitu kejahatan dan hukuman. Suatu perintah dan larangan saja tidak cukup
mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan atau melaksanakannya,
untuk itu diperlukan sanksi berupa hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya.[13]
Ulama
fikih mengemukakan bahwa hukuman pada setiap tindak pidana harus memenuhi
syarat – syarat sebagai berikut:[14]
1) Hukuman
itu disyari’atkan, yaitu sesuai dengan sumber yang telah ditetapkan dan diakui
oleh syari’at Islam. Perbuatan dianggap sah jika ditentukan oleh nash. Pronsip
ini yang dalam bahasa hukum disebut dengan istilah asas legalitas. Hukum pidana
islam mengenal asas ini secara substansial sebagaimana disebutkan dalam surat
al-Qasas ayat 54
أُوْلَٰٓئِكَ
يُؤۡتَوۡنَ أَجۡرَهُم مَّرَّتَيۡنِ بِمَا صَبَرُواْ وَيَدۡرَءُونَ بِٱلۡحَسَنَةِ ٱلسَّيِّئَةَ
وَمِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ يُنفِقُونَ ٥٤ [15]
Artinya: Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan
kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian
dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka, mereka nafkahkan
2) Huku
itu hanya dikenakan pada pelaku tindak pidana, karena pertanggungjawaban tindak
pidana hanya dipndak pelakunya, orang lain tidak boleh dilibatkan dalam tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang kecuali dalam masalah diyat,
pembebasan (ganti rugi) dapat ditanggung oleh keluarganya.
3) Hukuman
itu bersifat universal dan berlaku bagi seluruh orang, karena pelaku tindak
kejahatan dimuka hakim berlaku sama derajatnya, tanpa membedakan apakah itu
orang kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, rakyat atau penguasa.
[1] Hukum pada Islam dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu:
a.
Hudud,
jamak dari had atau “batas” yang ditentukan Allah SWT, yang jika
dilanggar berakibat pada suatu putusan hukuman yang sudah ditentukan. Yang termasuk
jarimah hudud adalah zina, qazaf, syurqah, al-khamr, bagyu, hirabah, dan
ridah. Jazuli, Fiqih Jinayah, Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam,
(Jakarta: Rajawali Press, 1997), hal.24
b.
Ta’zir, berupa
kejahatan yang termasuk dalam hudud karena bentuk hukumnya diserahkan
pada kebijakan hakim atau penguasa. Istilah ta’zir yaitu hukuman yang
bertujuan mengoreksi atau merehabilitasi prilaku kejahatan. Oleh karena itu putusan
hukuman diserahkan kepada hakim dan bisa beragam tergantung pada siapa yang
memutuskannya dan kepada siapa itu dijatuhkan.
c.
Qisas, atau
ganti rugi berkenaan dengan kejahatan terhadap seseorang seperti membunuh,
mencederai, dan memukul. Hukum qisas dengan cara menerima uang “darah”
atau konpensasi harta (diyah) atau dengan tidak menggunakan haknya.
Karena adanya pihak yang tidak bisa menggunakan haknya ini. Tindak pidana jenis
ini bersifat pribadi, yang lebih dekat dengan kerugian pribadi dari pada dengan
tindak kejahatan yang merugikan kepentingan public. Jhon L. Esposito,
Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, jilid V cet.II, (Jakarta: Mizan,
2002), hal.10-11
[2] A. Rahman Ritonga, dkk, Ensiklopedi
Hukum Islam, jilid VI, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal.1871
[3] Teguh Prasetyo, Hukum Pidana
Materil, cet. I, jilid II, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal.3
[4] Dalam banyak rumusan delik dalam
KUHP sering dijumpai “wederrechttelijk” untuk menunjukkkan sifat tidak
sah auatu perbuatan atau suatu maksud. Sifat melawan hukum juga dikenal dengan istilah – istilah Rechtwidris,
Unrecth, dan Onrechtmatig. Penggunaan wederrechttelijk oleh
pembentuk undang-undang untuk menunjukkan tidak sah atau tindakan itu dapat
dijumpai dalam rumusan delik menurut pasal 167 (1), 168, 179, 180, 189, 190,
253, 257, 333 (1), 334 (4), 372, 429 (1), 431, 433, 448, 453, 455, 472, dan
522 KUHP. Teguh Prasetyo: Hukum
Pidana Materil, hal.21
[5] D. Schaffmeister, N. Keijer, MR.
E, PH. Sutorus, Hukum Pidana, cet. I, (Yogyakarta: Liberty Press, 1995),
hal. 39-40
[6] Siswanto Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika,
Dalam Kajian Sosiologi Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
hal.35
[7] Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri’
al-Jina’I al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), I:214
[8] Makhrus Munajat, Dekontruksi
Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004), hal.40
[9] Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri’
al-Jina’I al-Islami, hal.111
[10] Hukum pidana materil berisikan
peraturan – peraturan tentang:
a.
Perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman (Strafbare
Feiten).
b.
Siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan
lain mengatur pertanggungjawaban terhadap hukum pidana.
c.
Hukum apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Atau disebut juga
hukum penetentiair. Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hal.6-7
[11] Moeljatno, Asas-Asas Hukum
Pidana, cet.VII, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), hal.5
[12] Abd al-Qadir Awdah, at-Tasyri’
al-Jina’I al-Islami, hal.214-215
[13] Abdul Salam, Fiqih Jinayah
(Hukum Pidana Islam), (Yogyakarta: Ideal, 1987), hal.52
[14] Makhrus Munajat, Dekontruksi
Hukum Pidana Islam, hal. 41-43
[15] Al-Qasas (28): 54
PERHATIAN:Jika anda ingin bertanya atau bantuan bisa kontak kami
contact atau 089677337414 - Terima kasih.
contact atau 089677337414 - Terima kasih.